• Berita Terkini

    Jumat, 12 Januari 2018

    MK Tolak Gugatan Presidential Threshold

    JAKARTA – Judicial review terhadap ambang batas pencalonan presiden atau presidential treshold ditolak Mahkamah Konstitusi kemarin (11/1/2018). Dengan demikian, pasangan calon presiden dan wakil presiden harus didukung partai yang menguasai 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional untuk mendaftar pada Agustus mendatang.

    Itu sesuai dengan pasal 222 UU No 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. Karena pemilihan presiden dan pemilu legislatif pada 2019 serentak, maka yang dijadikan acuan adalah hasil Pileg 2014.


    Dengan ambang batas sebesar itu, tidak ada satu pun partai yang bisa mengusung capes-cawapres sendirian. PDIP sekali pun. Sebab, partai pemenang Pemilu 2014 itu hanya menguasai 19,4 persen suara nasional.


    Dalam pertimbangannya, MK menampik semua dalil yang diajukan pemohon. Salah satunya terkait diskriminasi, karena partai baru tidak bisa mencalonkan capres-cawapres.


    Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengatakan, tidak semua perbedaan disebut diskriminasi. Menurut mahkamah, dikatakan diskriminasi jika didasari pembedaan atas dasar SARA, status sosial, ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik.


    ”Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” katanya di Gedung MK.


    Sementara terkait dalil yang menyebut pasal 222 bertentangan dengan logika keserentakan, MK sudah berpendapat dalam Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009. Di situ sudah ditegaskan, bahwa penentuan ambang batas minimum perolehan suara partai politik dalam mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah kebijakan hukum pembentuk undang-undang atau open legal policy.


    Ada pun menyangkut anggapan presidential threshold tak lepas dari tarik-menarik kepentingan politik, mahkamah berpendapat pembentukan UU adalah keputusan politik. Oleh sebab itu, Mahkamah tidak berwenang menilai praktik dan dinamika politik yang terjadi selama berlangsungnya proses pembentukan UU.


    ”Selama tata cara pembentukan undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan tata cara atau prosedur yang ditentukan dalam UUD 1945,” imbuhnya.

    Tidak semua hakim konstitusi sepakat untuk menolak gugatan presidential treshold itu. Dua di antara sembilan hakim, yakni Saldi Isra dan Suhartoyo, menyampaikan perbedaan pendapat atau dissenting opinion.


    Dalam penjelasannya, Suhartoyo menilai, mempergunakan hasil pemilu legislatif sebagai syarat mengisi posisi eksekutif merusak logika sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem presidensial, melalui pemilu langsung, mandat rakyat diberikan secara terpisah. Kepada legislatif dan eksekutif (presiden).

    ”Mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan legislatif belum tentu sama, bahkan sejumlah fakta empirik membuktikan acapkali berbeda, dengan mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan eksekutif,” ujarnya.


    Saldi Isra menambahkan, pemberian kursi sekurangnya 20 persen dari jumlah kursi DPR tidak menjamin terjadinya stabilitas pemerintahan. Apalagi, tidak ada jaminan, hasil di pemilu 2019 akan sama dengan Pemilu 2014.


    ”Bahkan, yang jauh lebih tragis, bagaimana pula jika partai politik peserta Pemilu DPR 2014 yang mengajukan calon Presiden  dalam Pemilu 2019 tetapi gagal menjadi peserta Pemilu 2019 karena tidak lolos verifikasi faktual,” tuturnya.



    Dengan demikian, syarat 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara pemilu akan kembali diberlakukan pada pendaftaran calon presiden Agustus mendatang. Gugatan tersebut dilakukan oleh Partai Idaman dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Di antaranya Perludem, Effendy Ghazali, hingga mantan KPU RI Hadar Nafis Gumay.


    Pada pokoknya, pemohon menilai ketentuan yang diatur dalam pasal 222 UU Pemilu 2017 tersebut bersifat diskiminatif. Pasalnya, hak partai politik tidak setara, khususnya bagi yang baru. Apalagi, pelaksanaan pemilu yang dilakukan serentak membuat penggunaan hasil Pemilu 2014 sudah tidak relevan lagi digunakan.


    Selain itu, pemohon juga menilai proses lahirnya kesepakatan PT dalam UU Pemilu tidak lepas manipulasi dan tarik ulur kepentingan politik. Sehingga diduga disesuaikan dengan kepentingan penguasa.







    Terpisah, mantan Ketua MK Mahfud MD menilai MK memang memiliki kewenangan atas putusannya. Putusan MK yang tidak membatalkan pasal terkait presidential threshold merupakan bagian dari kewenangan MK. ”Itu kan open legal polecy. Pilihan MK hanya membatalkan menjadi nol persen atau membiarkan apa yang diputus DPR. Terserah MK saja,” kata Mahfud.


    Dalam hal ini, pilihan terhadap penolakan uji materi ternyata diambil oleh MK. Mahfud menilai, putusan itu sudah sesuai dengan tugas dan fungsi MK dalam mengambil putusan. ”Karena kalau MK menentukan angka berapa persen, berapa persen, itu kan ndak ada dasarnya,” lanjut Mahfud.

    Lebih lanjut, Mahfud menilai munculnya suara yang kontra terhadap putusan MK adalah hal yang wajar. Sebab, putusan MK di satu sisi memang disambut sukacita bagi yang menang, dan muncul kekecewaan dari yang kalah.


    ”Saya mengadili ratusan permohonan itu biasa, kalau ada yang tidak puas ya biasa. Tapi yang pasti, putusan MK itu final dan mengikat,” tandasnya.


    Pengamat dari "Constitutional and Electoral Reform Center" (Correct) yang juga salah satu pemohon Hadar Nafis Gumay menilai, ditolaknya PT membuat pilihan presiden pada 2019 hanya akan diikuti sedikit calon. Bahkan jika melihat peta politik saat ini, kemungkinan hanya ada dua.

    ”Bahkan orangnya masih sama seperti 2014 lalu,” ujarnya ditemui usai persidangan.


    Pernyataan dia sendiri merujuk pada fakta di mana kekuatan politik mayoritas condong ke kubu incumbent Joko Widodo. Bahkan PPP, Golkar, Hanura dan Nasdem sudah menyampaikan deklarasinya. Adapun PKB dan PDIP kemungkinan besar akan mengikuti.


    Sementara, total kursi partai koalisi yang digawangi Gerindra dan PKS hanya memiliki 20,1 persen kursi parlemen atau satu tiket pasangan calon. Di sisi lain, gabungan suara PAN dan Demokrat yang kini berstatus abu-abu hanya memiliki kursi total 19,5 persen.


    Hadar menambahkan, jumlah capres yang hanya dua pasangan tidak cukup baik. Apalagi, melihat polarisasi masyarakat yang masih terasa. ”Dampak polarisasi 2014 saja tidak selesai sampai sekarang. Bagaimana jika nanti berlanjut,” imbuh pria yang juga mantan komisioner KPU itu.


    Terpisah, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon menyayangkan putusan MK. “Ini tidak rasional, karena dengan keserentakan seharusnya tidak ada lagi threshold,” terang dia saat ditemui di gedung DPR kemarin (11/1). Apalagi, kata dia, ambang batas yang digunakan sudah digunakan pada 2014.


    Jadi, terang dia, dari sisi rasional sangat sulit untuk diterima. Tapi, karena merupakan putusan MK, maka pihaknya menghargai putusan tersebut. Partainya siap dengan keputusan apa pun dan tidak kaget dengan keputusan yang dikeluarkan. Dengan presidential threshold, dia memprediksi pada pemilu 2019 nanti akan muncul sekitar dua atau tiga calon. “Bisa juga empat atau tiga, tapi saya lihat akan muncul dua,” tutur Plt Ketua DPR RI itul.


    Putusan MK terkait uji materi UU Pemilu mendapat kritikan dari Partai Gerakan Indonesia Raya. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menyatakan bahwa MK mengambil sikap yang berbeda saat memutus pasal terkait kewajiban verifikasi parpol dengan pasal terkait presidential threshold.


    "Menurut saya (putusan MK) ada yang bertentangan dengan tradisi Mahkamah Konstitusi," kata Muzani di gedung parlemen, Jakarta, kemarin.


    Muzani menilai, dalam memutus pasal terkait verifikasi, MK mengambil keputusan dengan prinsip kesetaraan dan persamaan di mata hukum. Putusan ini memunculkan tidak ada keistimewaan antar parpol satu dengan yang lain. "Keharusan verifikasi ini menurut saya MK bertindak fair dan mengambil akal sehat," ujarnya.

    Namun, dalam putusan terkait pasal masih berlakunya ambang batas pencalonan Presiden, Muzani menilai MK sudah kehilangan rasionalitasnya. Muzani tidak habis pikir mengapa MK tetap memberlakukan pasal yang mengacu perolehan suara pemilu 2014 lalu, untuk digunakan sebagai syarat di pilpres 2019.


    "MK seperti kehilangan kewarasan, kehilangan (prinsip) kesetaraan. MK dalam pasal ini seperti gontai dan loyo," ujarnya.


    Muzani juga mempertanyakan putusan MK terkait UU Pemilu yang diketok kemarin. Sebab, sebelumnya sudah beredar bahwa kemarin sejatinya adalah jadwal sidang lanjutan UU Pemilu mendengarkan keterangan ahli dari DPR dan Pemerintah, namun dirubah menjadi agenda putusan.


    "Itu lebih aneh lagi. MK seperti terburu-buru mengejar setoran untuk disampaikan ke publik," ujarnya.

    Muzani menambahkan, konsekuensi putusan MK ini harus dijalankan. Dirinya menyebut bahwa Partai Gerindra sudah mengantisipasi jika MK menolak membatalkan syarat presidential threshold. Karena itu, Partai Gerindra siap untuk mencalonkan kembali Ketua Umum Prabowo Subianto melalui jalur koalisi. "Kami harus berbicara dengan teman koalisi untuk pencalonan Presiden dan Wakil Presiden," tandasnya.


    Senada, Fandi Utomo, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat mengatakan, dia tidak sependapat dengan putusan itu. Menurutnya, ambang batas pencalonan presiden pada pemilu presiden dan legislatif serentak tidak relevan lagi. Jadi, tidak diperlukan ambang batas.

    Namun, tutur dia, putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga harus dipatuhi. Jika MK memutuskan ambang batas 20 persen, maka ketentuan itu yang akan berlaku dan digunakan pada pemilu mendatang. Pihaknya akan mempelajari dan melakukan langkah-langkah yang mungkin bisa ditempuh.

    Pernyataan berbeda disampaikan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Dia justru mengapresiasi putusan MK terkait ambang batas pilpres. Menurut dia, sebagaimana pembahasan UU Pemilu, mayoritas partai di DPR memang setuju perlunya syarat presidential threshold.

    "Itu sudah sesuai dengan yang diharapkan, serta sesuai dengan yang didorong partai politik," kata Airlangga.

    Airlangga menyatakan, dengan putusan itu, maka tidak ada keraguan terkait tahapan pelaksanaan pilpres tahun depan. Airlangga juga optimis putusan itu makin memperkuat dukungan atas poros parpol pendukung Presiden Jokowi pada 2019. "Insya Allah akan makin kuat," ujarnya.

    Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengapresiasi putusan MK. Ambang batas sudah sesuai dengan konstitusional tidak melanggar UUD 1945. “Saya kira wajar jika ada yang punya pendapat berbeda,” tutur dia saat ditemui di gedung DPR. Dia mengajak semua pihak untuk menghormati putusan MK. (far/lum/bay)



    Kans lahirnya banyak calon presiden dan calon wakil presiden dalam Pemilu 2019 hampir dipastikan pupus. Pasalnya, salah satu jalannya dengan menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold berakhir kandas di Mahkamah Konstitusi.


    Dengan demikian, syarat 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara pemilu akan kembali diberlakukan pada pendaftaran calon presiden Agustus mendatang. Gugatan tersebut dilakukan oleh Partai Idaman dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Di antaranya Perludem, Effendy Ghazali, hingga mantan KPU RI Hadar Nafis Gumay.

    Pada pokoknya, pemohon menilai ketentuan yang diatur dalam pasal 222 UU Pemilu 2017 tersebut bersifat diskiminatif. Pasalnya, hak partai politik tidak setara, khususnya bagi yang baru. Apalagi, pelaksanaan pemilu yang dilakukan serentak membuat penggunaan hasil Pemilu 2014 sudah tidak relevan lagi digunakan.


    Selain itu, pemohon juga menilai proses lahirnya kesepakatan PT dalam UU Pemilu tidak lepas manipulasi dan tarik ulur kepentingan politik. Sehingga diduga disesuaikan dengan kepentingan penguasa.


    Namun dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menampik semua dalin yang diajukan pemohon. Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengatakan, tidak semua perbedaan disebut diskriminasi. Menurut mahkamah, dikatakan diskriminasi jika didasari pembedaan atas dasar SARA, status sosial, ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik.

    ”Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,” ujarnya di Gedung MK, Jakarta, kemarin (11/1).

    Sementara terkait dalil yang menyebut pasal 222 bertentangan dengan logika keserentakan, MK sudah berpendapat dalam Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, bertanggal 18 Februari 2009. Di situ sudah ditegaskan, bahwa penentuan ambang batas minimum perolehan suara partai politik dalam mengusulkan calon Presiden dan Wakil Presiden adalah kebijakan hukum pembentuk undang-undang atau open legal policy.


    Adapaun menyangkut anggapan PT tak lepas dari tarik-menarik kepentingan politik, Mahkamah berpendapat pembentukan UU adalah keputusan politik. Oleh sebab itu, Mahkamah tidak berwenang menilai praktik dan dinamika politik yang terjadi selama berlangsungnya proses pembentukan UU.


    ”Selama tata cara pembentukan undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan tata cara atau prosedur yang ditentukan dalam UUD 1945,” imbuhnya.

    Meski demikian, sembilan hakim MK tidak semuanya satu suara. Ada dua hakim, yakni Saldi Isra dan Suhartoyo yang menyampaikan perbedaan pendapat atau dissenting opinion.

    Dalam penjelasannya, Suhartoyo menilai, mempergunakan hasil pemilu legislatif sebagai syarat mengisi posisi eksekutif merusak logika sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem presidensial, melalui pemilu langsung, mandat rakyat diberikan secara terpisah. Kepada legislatif dan eksekutif (presiden).

    ”Mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan legislatif belum tentu sama, bahkan sejumlah fakta empirik membuktikan acapkali berbeda, dengan mandat yang diberikan kepada pemegang kekuasaan eksekutif,” ujarnya.


    Saldi Isra menambahkan, pemberian kursi sekurangnya 20 persen dari jumlah kursi DPR tidak menjamin terjadinya stabilitas pemerintahan. Apalagi, tidak ada jaminan, hasil di pemilu 2019 akan sama dengan Pemilu 2014.


    ”Bahkan, yang jauh lebih tragis, bagaimana pula jika partai politik peserta Pemilu DPR 2014 yang mengajukan calon Presiden  dalam Pemilu 2019 tetapi gagal menjadi peserta Pemilu 2019 karena tidak lolos verifikasi faktual,” tuturnya.


    Terpisah, mantan Ketua MK Mahfud MD menilai MK memang memiliki kewenangan atas putusannya. Putusan MK yang tidak membatalkan pasal terkait presidential threshold merupakan bagian dari kewenangan MK. ”Itu kan open legal polecy. Pilihan MK hanya membatalkan menjadi nol persen atau membiarkan apa yang diputus DPR. Terserah MK saja,” kata Mahfud.


    Dalam hal ini, pilihan terhadap penolakan uji materi ternyata diambil oleh MK. Mahfud menilai, putusan itu sudah sesuai dengan tugas dan fungsi MK dalam mengambil putusan. ”Karena kalau MK menentukan angka berapa persen, berapa persen, itu kan ndak ada dasarnya,” lanjut Mahfud.

    Lebih lanjut, Mahfud menilai munculnya suara yang kontra terhadap putusan MK adalah hal yang wajar. Sebab, putusan MK di satu sisi memang disambut sukacita bagi yang menang, dan muncul kekecewaan dari yang kalah.


    ”Saya mengadili ratusan permohonan itu biasa, kalau ada yang tidak puas ya biasa. Tapi yang pasti, putusan MK itu final dan mengikat,” tandasnya.

    Pengamat dari "Constitutional and Electoral Reform Center" (Correct) yang juga salah satu pemohon Hadar Nafis Gumay menilai, ditolaknya PT membuat pilihan presiden pada 2019 hanya akan diikuti sedikit calon. Bahkan jika melihat peta politik saat ini, kemungkinan hanya ada dua.

    ”Bahkan orangnya masih sama seperti 2014 lalu,” ujarnya ditemui usai persidangan.

    Pernyataan dia sendiri merujuk pada fakta di mana kekuatan politik mayoritas condong ke kubu incumbent Joko Widodo. Bahkan PPP, Golkar, Hanura dan Nasdem sudah menyampaikan deklarasinya. Adapun PKB dan PDIP kemungkinan besar akan mengikuti.


    Sementara, total kursi partai koalisi yang digawangi Gerindra dan PKS hanya memiliki 20,1 persen kursi parlemen atau satu tiket pasangan calon. Di sisi lain, gabungan suara PAN dan Demokrat yang kini berstatus abu-abu hanya memiliki kursi total 19,5 persen.


    Hadar menambahkan, jumlah capres yang hanya dua pasangan tidak cukup baik. Apalagi, melihat polarisasi masyarakat yang masih terasa. ”Dampak polarisasi 2014 saja tidak selesai sampai sekarang. Bagaimana jika nanti berlanjut,” imbuh pria yang juga mantan komisioner KPU itu.


    Terpisah, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon menyayangkan putusan MK. “Ini tidak rasional, karena dengan keserentakan seharusnya tidak ada lagi threshold,” terang dia saat ditemui di gedung DPR kemarin (11/1). Apalagi, kata dia, ambang batas yang digunakan sudah digunakan pada 2014.


    Jadi, terang dia, dari sisi rasional sangat sulit untuk diterima. Tapi, karena merupakan putusan MK, maka pihaknya menghargai putusan tersebut. Partainya siap dengan keputusan apa pun dan tidak kaget dengan keputusan yang dikeluarkan. Dengan presidential threshold, dia memprediksi pada pemilu 2019 nanti akan muncul sekitar dua atau tiga calon. “Bisa juga empat atau tiga, tapi saya lihat akan muncul dua,” tutur Plt Ketua DPR RI itul.


    Putusan MK terkait uji materi UU Pemilu mendapat kritikan dari Partai Gerakan Indonesia Raya. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani menyatakan bahwa MK mengambil sikap yang berbeda saat memutus pasal terkait kewajiban verifikasi parpol dengan pasal terkait presidential threshold.


    "Menurut saya (putusan MK) ada yang bertentangan dengan tradisi Mahkamah Konstitusi," kata Muzani di gedung parlemen, Jakarta, kemarin.


    Muzani menilai, dalam memutus pasal terkait verifikasi, MK mengambil keputusan dengan prinsip kesetaraan dan persamaan di mata hukum. Putusan ini memunculkan tidak ada keistimewaan antar parpol satu dengan yang lain. "Keharusan verifikasi ini menurut saya MK bertindak fair dan mengambil akal sehat," ujarnya.

    Namun, dalam putusan terkait pasal masih berlakunya ambang batas pencalonan Presiden, Muzani menilai MK sudah kehilangan rasionalitasnya. Muzani tidak habis pikir mengapa MK tetap memberlakukan pasal yang mengacu perolehan suara pemilu 2014 lalu, untuk digunakan sebagai syarat di pilpres 2019.


    "MK seperti kehilangan kewarasan, kehilangan (prinsip) kesetaraan. MK dalam pasal ini seperti gontai dan loyo," ujarnya.

    Muzani juga mempertanyakan putusan MK terkait UU Pemilu yang diketok kemarin. Sebab, sebelumnya sudah beredar bahwa kemarin sejatinya adalah jadwal sidang lanjutan UU Pemilu mendengarkan keterangan ahli dari DPR dan Pemerintah, namun dirubah menjadi agenda putusan.


    "Itu lebih aneh lagi. MK seperti terburu-buru mengejar setoran untuk disampaikan ke publik," ujarnya.

    Muzani menambahkan, konsekuensi putusan MK ini harus dijalankan. Dirinya menyebut bahwa Partai Gerindra sudah mengantisipasi jika MK menolak membatalkan syarat presidential threshold. Karena itu, Partai Gerindra siap untuk mencalonkan kembali Ketua Umum Prabowo Subianto melalui jalur koalisi. "Kami harus berbicara dengan teman koalisi untuk pencalonan Presiden dan Wakil Presiden," tandasnya.


    Senada, Fandi Utomo, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat mengatakan, dia tidak sependapat dengan putusan itu. Menurutnya, ambang batas pencalonan presiden pada pemilu presiden dan legislatif serentak tidak relevan lagi. Jadi, tidak diperlukan ambang batas.


    Namun, tutur dia, putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga harus dipatuhi. Jika MK memutuskan ambang batas 20 persen, maka ketentuan itu yang akan berlaku dan digunakan pada pemilu mendatang. Pihaknya akan mempelajari dan melakukan langkah-langkah yang mungkin bisa ditempuh.


    Pernyataan berbeda disampaikan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto. Dia justru mengapresiasi putusan MK terkait ambang batas pilpres. Menurut dia, sebagaimana pembahasan UU Pemilu, mayoritas partai di DPR memang setuju perlunya syarat presidential threshold.


    "Itu sudah sesuai dengan yang diharapkan, serta sesuai dengan yang didorong partai politik," kata Airlangga.

    Airlangga menyatakan, dengan putusan itu, maka tidak ada keraguan terkait tahapan pelaksanaan pilpres tahun depan. Airlangga juga optimis putusan itu makin memperkuat dukungan atas poros parpol pendukung Presiden Jokowi pada 2019. "Insya Allah akan makin kuat," ujarnya.


    Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengapresiasi putusan MK. Ambang batas sudah sesuai dengan konstitusional tidak melanggar UUD 1945. “Saya kira wajar jika ada yang punya pendapat berbeda,” tutur dia saat ditemui di gedung DPR. Dia mengajak semua pihak untuk menghormati putusan MK. (far/lum/bay)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top