• Berita Terkini

    Sabtu, 20 Januari 2018

    Kebijakan Cantrang Tidak Konsisten

    JAKARTA – Baik pemerintah maupun para Nelayan nyatanya belum satu suara dalam kebijakan pelarangan alat tangkap Cantrang meski sudah dipertemukan satu meja dengan Presiden. Nelayan menganggap Cantrang diperbolehkan tanpa batasan apapun. Sementara KKP belum terlihat mau mengubah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 2 tahun 2015 tentang pelarangan Cantrang.


    Beberapa nelayan juga dikabarkan masih takut untuk melaut dengan Cantrang. Menunggu arahan tertulis akan hasil keputusan pertemuan perwakilan nelayan, Presiden dan Menteri KKP Susi Pudjiastuti. Selain itu, boleh tidaknya penggunaan alat Cantrang kembali jadi kabur.


    ”Peraturan tentang Cantrang (Permenkp 2/15,Red) tidak akan dirubah. Ini hanya relaksasi saja,” ujar Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan Dan Perikanan Nilanto Perbowo di Jakarta kemarin (19/1/2018).


    Jika sesuai pernyataan Nilanto, maka meskipun tidak diberi batas waktu, para Nelayan harus dan mau tidak mau beralih ke alat tangkap yang diijinkan oleh KKP. Sesuai Permenkp 2 tahun 2015.


    Meski demikian, ketua Aliansi Nelayan Indonesia (ANI) Riyono tetap bersikukuh bawah Presiden membolehkan mereka untuk melaut tanpa larangan. Tinggal menunggu secara legal administratif untuk berlayar “Yang penting kemarin Presiden menyatakan kawan-kawan Cantrang boleh melaut tanpa batasan waktu dan batasan gros tonase (GT), kami sudah siap melaut lagi,” katanya.


    Riyono menambahkan, dalam pertemuan dengan Presiden beberapa waktu lalu, Susi mengatakan bahwa bagi nelayan yang berminat untuk beralih alat tangkap, akan difasilitasi oleh pemerintah. ”Bahasanya ’yang berminat’ itu saja,” ujarnya.


    Menurut Riyono, sebenarnya para nelayan tidak keberatan untuk beralih alat tangkap. Jika itu lebih menguntungkan nelayan. Namun selama ini kenyataannya, alat tangkap yang ditawarkan pemerintah, gillnet, tidak efektif dan hanya bersifat musiman. ”Kalau masih maksa kami berganti, ayo KKP kita tantang untuk Uji Petik bareng,” katanya.


    Selain itu, Susi dianggap sepihak karena hanya mementingkan nelayan di Jawa. Bani Amin, Ketua Umum Dewan Pengurus Cabang (DPC) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Pontianak, yang juga terlibat dalam aksi pada Rabu (17/1) di seberang Istana Merdeka, menyebut pernyataan Susi itu berbeda dengan saat menemui demonstran.

    ”Bu Susi itu saat aksi kemarin di Monas itu dia tidak bicara seperti itu. Dia bicara kepada nelayan tidak mengkotak kotak nelayan Jawa dan Kalimantan. Cantrang diperbolehkan dengan jeda waktu tak ditentukan,” ujar dia kepada Jawa Pos, kemarin (19/1). Termasuk syarat lain tidak menambah kapal, tidak menambah alat cantrang, dan kesesuaian ukuran kapal.


    Bani menuturkan di Kalbar memang tidak dikenal cantrang, tapi mereka biasa menyebutnya lampara dasar (landas) atau pukat hela. Saat ini di Kalbar, ada sekitar 2.800 kapal kecil berukuran 10 gross ton. Mereka tersebar di Kabupaten Kubu Raya, Kayong utara, Ketapang, Mempawah, dan Sambas. Wilayah melaut para nelayan itu berkisar di wilayah pengelolaan perikanan 711 yang meliputi Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan.


    ”Nelayan Kalbar ini yang tiga mil dari pantai, melautnya di laut sekitar Kalbar. Tidak sampai Laut Jawa,” tegas pria 60 tahun itu.


    Mendengar pernyataan Menteri Susi yang hanya mengizinkan penggunaan cantrang di Laut Jawa pun membuat para nelayan itu was-was. Mereka khawatir ditangkap aparat. ”Kalau hanya Laut Jawa (yang diizinkan pakai cantrang, Red) saja, dia tabrak aturan sendiri (permenkp 2/15) karena aturan berlaku nasional,” tambah dia.


    Para nelayan pun menilai pengganti lamdas seperti gillnet, trammel net, atau pukat tiga lapis itu tidak bisa menghasilkan banyak ikan seperti cantrang. gillnet misalnya hanya dipakai saat bulan gelap. ”Ketika bulan terang tidak ada ikan mau masuk jaring gillnet karena kelihatan. Tidak bisa dipakai tiap hari,” ujar dia.

    Selain itu dia mengungkapkan bahwa penggunaan lamdas itu juga kapal-kapal kecil. Mereka biasa membawa jaring dengan tali selambar 25-35 meter. Dengan ABK hanya dua hingga tiga orang, kapal berukuran 10 GT itu pun beroperasi di laut dengan dasar berlumpur bukan karang.


    ”Alat ini tidak merusak, kami bisa buktikan secara teknis. Sudah beroperasi puluhan tahun sejak 1980an saat trawl dilarang,” imbuh dia.


    Ketua HNSI Pati, Rasmidjan juga mengatakan hal yang sama. Gillnet banyak tidak berhasil. Salah seorang anggotanya melaut ke perairan papua dengan modal perbekalan Rp. 160 juta. Namun pulang hanya dengan hasil tangkapan senilai Rp. 50 juta. ”Rugi Rp.150 juta lebih,” katanya.


    Selain itu, untuk berubah ke alat tangkap baru tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu modal, waktu untuk nelayan dan anak buah kapal (ABK) untuk menyesuaikan.


    Nelayan asal Rembang, Jateng, Jumiati menyatakan untuk membeli alat tangkap Cantrang saja, para nelayan rata-rata mengajukan pinjaman ke Bank. Banyak juga yang belum lunas. ”Semua sertifikat, rumah tanah dimasukkan ke bank, masak disuruh pinjam lagi,” katanya.


    Wakil Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Dr Suradi Wijaya Saputra menuturkan untuk hari ini atau jangka pendek, cantrang merupakan alat tangkap ikan paling menguntungkan. Produktivitasnya paling tinggi. ’’Itulah (kenapa, red) nelayan dan pengusaha mati-matian supaya tetap diizinkan (gunakan cantrang, red),’’ kata doktor bidang manajemen sumber daya perikanan itu.


    Suradi menuturkan dari sisi produktivitas cantrang memang menggiurkan. Namun dari aspek sumber daya laut dan keberlanjutan usaha nalayan, menangkap ikan menggunakan cantrang sangat rawan. Sebab menangkap ikan dengan cantrang tingkat seletktifnya rendah. Artinya semua ukuran ikan bisa tertangkap.

    ’’Anak-anak (ikan, red) yang masih bermain ditangkap. Yang baru dilahirkan ditangkap bersama induknya,’’ katanya. Jadi ikan-ikan yang menjadi sumber penghasilan nelayan itu tidak memiliki kesempatan untuk regenerasi.


    Dia juga membenarkan bahwa penangkap ikan cantrang juga tidak selektif dari jenis ikan. Dia memperkirakan cantrang hanya bisa menangkap sekitar 50 persen ikan yang benar-benar diburu. Seperti kerapu, kakap merah, bawal putih, dan bawah hitam. Sisanya adalah ikan non sasaran yang nilai ekonomisnya sangat rendah. Ikan-ikan non sasaran itu dijual Rp 5.000/kg sekalipun susah lakunya.

    Dia menceritakan perbedaan antara kapan pukat harimau dengan kapal cantrang. Dia menjelaskan kapal penangkap ikan dengan sistem pukat harimau sudah dilarang pada 1980 silam. Ternyata kemudian sistem pukat harimau itu dimodifikasi. ’’Antara lain modifikasi (pukat harimau, red) menghasilkan cantrang,’’ jelasnya.


    Pukat harimau dalam kerjanya ditarik dengan kapal yang berjalan. Sedangkan cantrang aturan sebenarnya adalah kapalnya berhenti kemudian jaringnya ditarik dengan tangan. Tetapi pada perkembangannya cantrang dimodifikasi dengan ditarik menggukan kapal yang berjalan.


    Suradi berharap sistem menangkap ikan dengan cantrang benar-benar distop pada 2019 nanti. ’’Kasihan anak cucu kita,’’ tuturnya. Dia menyebutkan habisnya ikan akibat cantrang sama dengan habisnya hutan akibat penebangan liar. Hanya saja habisnya ikan tidak tampak karena ada di dalam laut.



    Perlu Zoonasi Operasional



    Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Laode Ida menilai pelarangan cantrang selama ini memang bisa dikatakan sebagai kebijakan yang tergesa-gesa dan bahkan dianggap mengada-ada.  Karena tidak didasarkan oleh suatu hasil penelitian dari kalangan ahli yang independen dan kredibel. Dasarnya lebih hanya karena menyamakannya dengan pukat harimau  atau trawl  yang dilarang. Karena daya rusaknya lingkungan dasar lautnya sangat parah.


    ”Tapi sebenarnya beda dengan trawl, cantrang dianggap tak memiliki daya rusak yang signifikan. Persamaannya memang kedua jenis pukat itu menjaring ikan dasar,” ujar dia.


    Laode mengungkapkan pada pantai yang dangkal cantrang memang bisa merusak.  Tapi kalau di kedalaman jauh dari pantai tidak merusak karang. ”Makanya di Australia diperbolehkan minimal 1 mil laut dari pantai. Singkatnya perlu zonasi penggunaan cantrang,” ungkap dia.


    Laode juga mengkritik kebijakan pemboleh cantrang untuk sementara waktu tanpa batas yang jelas itu. Dia menilai tak ada alasan logis hanya membatasi cantrang untuk di Jawa Pantura saja. Yang perlu dibatasi adalah wilayah operasi cantrang tidak boleh mengambil wilayah pantai atau dekat pantai. ”Selama ini jadi wilayah tangkapan para nelayan lokal tradisional,” kata dia.


    Dia menuturkan ORI juga melakukan investasi berkaitan dengan kebijakan pelarangan cantrang itu. Diantara hasilnya, tak sedikit pengguna cantrang masih berutang akibat beli cantrang. Sehingga bisa dikatakan bahwa pelarangan cantrang merupakan bagian dari proses pemiskinan terhadap nelayan.


    ”Alat tangkap pengganti cantrang yang ditawarkan oleh Menteri Susi berupa, misalnya, gill net (jaring insang) belum diuji coba secara terbukti bisa menyejaterahkan nelayan,” ujar mantan wakil ketua Dewan Perwakilan Daerah itu. (jun/tau/wan)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top