• Berita Terkini

    Selasa, 16 Januari 2018

    Bulog Ambil Alih Impor Beras

    JAKARTA – Data beras yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian dinilai kurang akurat. Namun, saat ini fokus utama pemerintah adalah memastikan stok beras di Bulog berada pada level psikologis aman. Yakni minimum 1 juta ton. Karena itulah impor dilakukan.


    ’’Ada kekeliruan data. Secara nasional, terjadi masalah. Baik di BPS, di pertanian,’’ ujar Wapres Jusuf Kalla (JK) di kantornya kemarin (15/1/2018). Menurut JK, itu merupakan persoalan yang sudah lama. Bahkan saat dia menjadi Wapres di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kekeliruan itu sudah dikoreksi. Karena itu, BPS sudah tidak berani membuat publikasi tentang produksi beras.


    Wapres menuturkan, konsumsi beras per kapita berada pada angka 114 kilogram. Dengan hitungan jumlah penduduk Indonesia antara 250-260 juta, kebutuhan beras nasional per tahun mencapai 28-29,6 juta ton. Indonesia juga tidak pernah ekspor beras. Sementara itu, produksi dalam negeri paling tinggi 30 juta ton pertahun. ’’Makanya, begitu ada sedikit cuaca jelek, iklim jelek, memang bisa terjadi masalah,’’ lanjut JK.


    Panen padi diprediksi akan dimulai pada akhir Januari hingga Maret. Namun, kondisi tersebut tdiak membuat pemerintah urung mengimpor beras. Menurut JK, impor 500 ribu ton tersebut untuk menambah stok di gudang Bulog. ’’Cadangan (beras) tidak boleh kurang dari sejuta. Dalam keadaan apapun,’’ tegasnya. Itu sudah rumusan baku. Karena posisi stok di gudang Bulog saat ini kurang dari satu juta ton, impor diizinkan demi mengamankan stok.


    JK juga menegaskan, yang mengimpor beras bukan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Melainkan Bulog secara langsung karena memang untuk kebutuhan stok di gudang. ’’Sejak Jumat saya sudah suruh koreksi itu, bahwa harus Bulog yang mengimpor,’’ ucapnya. JK menjamin impor tidak akan mempengaruhi harga di tingkat petani. ’’Jangan lupa konsumsi kita per bulan 2,5 juta ton. Jadi hanya (setara) konsumsi seminggu,’’ tambahnya.


    Dia menuturkan, saat ini sangat sedikit petani yang menikmati beras hasil produksinya sendiri. Begitu panen, gabahnya dijual ke penggilingan. Kemudian mereka membeli beras jadi dari warung atau toko-toko beras. Tentunya dengan harga konsumen. Sehingga, bila harga beras di tingkat konsumen naik, para petani yang juga menjadi konsumen juga akan keberatan.


    Perum Bulog sendiri mengaku siap menjalankan penugasan yang diperintahkan pemerintah untuk melakukan impor beras 500 ribu ton. Asal negara ditetapkan dari Thailand, Vietnam, dan Pakistan. "Kami segera membereskan administrasi atau syarat dalam melakukan impor. Jika sudah proses impor bisa segera dilakukan," ujar Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti.


    Sementara itu, Ombudsman RI meminta Kementerian Pertanian menghentikan pembangunan opini surplus beras. Anggota Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih menuturkan, opini surplus beras itu jauh berbeda dari temuan Ombudsman RI di lapangan. Pihaknya telah melakukan pemantauan langsung kepada para pedagang beras di 31 provinsi pada 10-12 Januari. ”Hasil monitoring, kami menyimpulkan stok persediaan beras kita pas-pasan dan tidak merata. Harga naik tajam sejak Desember,” tuturnya kepada wartawan pada sesi konferensi pers di kantor Ombudsman RI kemarin (15/1).


    Dari 31 provinsi tersebut, kata Alam, sudah ada beberapa yang masuk zona merah yang artinya stok berkurang dan harga sudah melampaui harga eceran tertinggi (HET). Beberapa ada yang masuk zona kuning yang artinya pasokan berkurang dan harga mulai naik tetapi masih di bawah HET. Di atas itu, ada yang masuk kategori zona biru yang artinya pasokan lancar tetapi harga merangkak naik. ”Dan ada juga yang hijau. Yang stabil. Beberapa daerah yang masuk zona bitu ini sewaktu-waktu bisa turun menjadi kuning atau merah,” jelas Alam.


    Di bagian lain, BPS menyatakan mereka tidak merilis data produksi beras pada dua tahun terakhir. Data sektoral seperti beras sepenuhnya menjadi wewenang kementerian terkait dalam hal ini adalah Kementerian Pertanian. ''Sampai sekarang kita belum mengeluarkan lagi data produksi beras," ujar Deputi Bidang Statistik, Distribusi, dan Jasa BPS Yunita Rusanti kemarin (15/1).


    Terakhir kali BPS merilis data produksi beras memang ada pada 2015. Hingga saat ini, pemerintah mengintruksikan BPS untuk membenahi atau melakukan perbaikan data produksi padi, gabah, maupun beras. Sehingga ke depan akan menggunakan satu basis data sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan pemerintah. "Kita masih dalam taraf kerangka sampel area. Kita sedang benahi, kita ingin datanya lebih akurat," tambahnya. (byu/and/agf/oki)





    Alam memerinci, ada enam provinsi yang pasokan berasnya menurun dan mengalami kenaikan harga di atas HET Yakni Sumatera Selatan, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Papua. ”Palembang ini sebanarnya produksi bagus. Tapi tersedot hingga jadi merah sekarang ini. Jawa Timur juga produksi bagus. Tapi tersedot ke Kalimantan,” kata Alam.



    Selain itu, ada tujuh provinsi yang pasokan berasnya menurun tetapi kenaikan harga masih di bawah HET. Yakni Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Provinsi Lampung, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Timur.



    Di sembilan provinsi lainnya, pasokan beras lancar namun harga sudah merangkak naik. Seperti di Aceh, Riau, Jambi, Bengkulu, Jawa Tengah, Bali, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. ”Di wilayah timur, Sulsel jadi sentral. Pasokan dari Sulsel bisa menyelamatkan beberapa provinsi,” ucapnya.



    Sementara itu, di Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku Utara, dan Papua Barat, pasokan beras lancar dan harganya relatif stabil.



    ”Stok beras kita ini kan pas-pasan dan tidak merata. Fokus terpenting dair pemerintah sekarang adalah pemerataan stok. Silakan lakukan impor untuk cadangan nasional. Tetapi oleh Bulog. Sesuai dengan aturan,” kata Alam.



    Temuan Ombudsman itu juga menjadi jawaban atas kesimpangsiuran yang belakangan terjadi. Di satu sisi, Kementan mengklaim bahwa produksi beras surplus dan stok cukup. Tapi di sisi lain, harga beras terus meroket sejak Desember lalu.



    ”Kenaikan harga sejak akhir tahun, tanpa temuan penimbunan dalam jumlah besar, mengindikasikan kemungkinan proses mark-up data produksi dalam model perhitungan yang digunakan selama ini,” ungkap Alam.



    Alam menjelaskan, selama ini, Kementan selalu mengklaim bahwa produksi beras surplus dan stok cukup hanya berdasarkan perkiraan luas panen serta produksi gabah. Tanpa disertai dengan jumlah maupun sebaran stok beras secara riil.



    Sementara itu, dikonfirmasi mengenai data yang tidak terekam dengan baik, Badan Pusat Statistik mengklaim bahwa mereka tidak merilis data produksi beras pada dua tahun terakhir. Data sektoral seperti beras sepenuhnya menjadi wewenang kementerian terkait dalam hal ini yang dimaksud adalah Kementerian Pertanian.



    "BPS tidak mengeluarkan data produksi beras. Kita kembalikan ke Mentan karena itu wewenangnya. Sampai sekarang kita belum mengeluarkan lagi data produksi beras," ujar Deputi Bidang Statistik, Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik Yunita Rusanti, saat dikonfirmasi kemarin (15/1).



    Jika melihat ke belakang, terakhir kali BPS merilis data produksi beras memang ada pada tahun 2015. Hingga saat ini, menurut Yunita, pemerintah tengah mengintruksikan BPS untuk membenahi atau melakukan perbaikan data produksi padi, gabah maupun beras, sehingga ke depan akan menggunakan satu basis data sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan pemerintah. "Kita masih dalam taraf kerangka sampel area. Kita sedang benahi, kita ingin datanya lebih akurat," tambahnya.



    Kemarin, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha  (KPPU) juga menggelar diskusi terkait tata niaga beras. Dalam pertemuan tersebut, salah satu fokus yang disoroti adalah tentang data produksi yang selama ini dianggap semu dan membingungkan banyak pihak. "Polemik ini muncul adalah karena data. Sehingga kami merekomendasikan data yang diterbitkan harus lebih terpercaya sehingga bisa menjadi rujukan. Sudah kordinasi dengan BPS, semoga Agustus bisa muncul data produksi dengan metode sample yang benar," ujar Ketua UMUM KPPU Syarkawi Rauf.



    Di lain pihak, Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) berpendapat bahwa dalam kondisi saat ini memang perlu dilakukan impor beras. Sebab, pemerintah dinilai cukup terlambat dalam mengantisipasi masalah perberasan sehingga harga terlanjut membumbung tinggi. "Seharusnya dengan melihat beberapa indikator, pada bulan Agustus tahun lalu sudah bisa diputuskan impor atau tidak," ujar Ketua Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso.



    Beberapa indikator yang dimaksudkan Sutarto adalah data ramalan produksi. Namun Sutarto menyayangkan BPS tak lagi merilis data produksi dua tahun terakhir. Di sisi lain, data yang dirilis Kementerian Pertanian tentang surplus produksi beras tidak tercermin pada kondisi lapangan. "Ini saling berkaitan. Karena jika memang surplus, seharusnya harga tidak naik," tambahnya.



    Indikator berikutnya adalah soal harga. Menurut Sutarto jika harga beras naik bisa dipastikan ada masalah pada suplai. Terakhir adalah stok beras yang dikuasai pemerintah. Jika jumlahnya masih di bawah target, maka ada masalah yang berkaitan dengan produksi.

    "Semua indikator ini telah terlihat. Jadi memang solusi yang realistis sekarang adalah impor. Tapi pemerintah juga harus memastikan ke depannya hal seperti ini dapat diantisipasi lebih baik," pungkas Sutarto. (byu/and/agf)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top