• Berita Terkini

    Selasa, 19 Desember 2017

    Pengaduan Kasus Anak Merosot, Akta Kelahiran Disorot

    JAKARTA–Sepanjang 2017, jumlah pengaduan yang masuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menurun jika dibandingkan tahun lalu. Penyebabnya beragam, di antaranya masifnya program-program ramah anak dan meningkatnya kesadaran masyarakat.


    Tahun lalu, terang Ketua KPAI Susanto saat menyampaikan evaluasi tahunan di kantor KPAI di Jakarta kemarin (18/12), pengaduan yang masuk mencapai 4.420. Sedangkan tahun ini menurun jadi 3.849 kasus. Terkait jenis kasus pengaduannya, kelompok anak berhadapan dengan hukum (ABH) masih yang terbanyak. Disusul kelompok kasus pornografi dan cybercrime.


    “Masifnya program seperti desa ramah anak atau sekolah ramah anak turut berperan menyebabkan penurunan pengaduan itu,” katanya.


    Penyebab penurunan angka laporan berikutnya adalah kesadaran masyarakat terkait penyelesaian atau laporan kasus anak. Masyarakat tidak buru-buru melaporkan kasus anak ke kantor KPAI pusat. Tapi, terlebih dahulu ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAD).


    Di luar penurunan laporan kasus anak, KPAI menyoroti layanan akta kelahiran. Komisioner KPAI Jasra Putra menuturkan, di dalam target RPJMN 2019 dinyatakan pemenuhan penerbitan 3 juta akta lahir. Dia menghitung saat ini kekurangan akta lahir di Indonesia yang harus dipenuhi pemerintah mencapai 18,8 juta lembar akta.


    Menurut Jasra ada penyebab lambatnya penerbitan akta kelahiran. ’’Yaitu tantangan umum dan khusus,’’ jelasnya. Tantangan umum itu seperti birokrasi pengurusan akte yang belum link dengan data kependudukan Kemendagri. Kemudian belum ada inovasi jemput bola ke kantong-kantong masyarakat terpencil. Selain itu juga kucuran APBD untuk pengurusan akta kelahiran sedikit.







    Jelang tutup tahun, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan evaluasi tahunan. Hasilnya jumlah pengaduan yang masuk berkurang dibanding tahun lalu. Namun ada sejumlah catatan yang disorot. Diantaranya adalah penerbitan akte kelahiran.


    Ketua KPAI Susanto menuturkan sepanjang 2017 pengaduan yang masuk ke KPAI berjumlah 3.849 kasus. Jumlah ini turun dibandingkan tahun lalu yang berjumlah 4.420 kasus. Terkait jenis kasus pengaduannya, kelompok anak berhadapan dengan hukum (ABH) masih yang terbanyak. Kemudian disusul kelompok kasus pornografi dan cybercrime.

    Susanto menuturkan ada beberapa penyebab turunnya laporan yang masuk ke meja pengaduan KPAI. Diantaranya adalah cukup massifnya program-program ramah anak. ’’Seperti desa ramah anak atau sekolah ramah anak,’’ jelasnya di kantor KPAI kemarin (18/12/2017).


    Penyebab penurunan angka laporan berikutnya adalah kesadaran masyarakat terkait penyelesaian atau laporan kasus anak. Yakni mereka tidak buru-buru melaporkan kasus anak ke kantor KPAI pusat. Tetapi melaporkan terlebih dahulu di Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAD).


    Namun meskipun angka pengaduan turun, kompleksitas persoalannya semakin berkembang. Diantaranya dalam tujuh tahun terakhir ada 28 ribu korban dan pelaku anak. Dimana anak jenis kelamin laki-laki yang dominan menjadi korban sekaligus pelaku.

    Kondisi ini merubah peta sebelumnya, yakni anak perempuan yang rawan menjadi korban.

    Di tengah tren penurunan laporan kasus anak, KPAI menyoroti layanan akta kelahiran. Komisioner KPAI Jasra Putra menuturkan di dalam target RPJMN 2019 dinyatakan pemenuhan penerbitan 3 juta akta lahir. Dia menghitung saat ini kekurangan akta lahir di Indonesia yang harus dipenuhi pemerintah mencapai 18,8 juta lembar akta.


    Menurut Jasra ada penyebab lambatnya penerbitan akta kelahiran. ’’Yaitu tantangan umum dan khusus,’’ jelasnya. Tantangan umum itu seperti birokrasi pengurusan akte yang belum link dengan data kependudukan Kemendagri. Kemudian belum ada inovasi jemput bola ke kantong-kantong masyarakat terpencil. Selain itu juga kucuran APBD untuk pengurusan akta kelahiran sedikit.


    Sedangkan tantangan khusus seperti anggapan bahwa akte kalahiran baru penting ketika anak usia 6 atau 7 tahun. Tepatnya ketika mau masuk sekolah. Sehingga ketika anak usia 0-5 tahun, belum dibuatkan akta kelahiran. Masyarakat juga merasa repot mengurus akte karena harus ke pusat kabupaten/kota. Dia ingin pengurusan akte di seluruh Indonesia bisa dilakukan di tingkat kelurahan atau desa.


    ’’Yang menarik adalah kajian yang menyebut 40 persen masyarakat menilai biaya pengurusan akte kelahiran terlalu mahal,’’ jelasnya. Biaya itu tidak hanya uang yang dikeluarkan saat pengurusan birokrasi akte kelahiran. Tetapi juga termasuk ongkos perjalanan mengurus akte kelahiran. (wan)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top