• Berita Terkini

    Sabtu, 16 Desember 2017

    KPK Pastikan Usut Legislator Penerima Uang

    FebriDiansyah
    JAKARTA- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta publik untuk bersabar terkait hilangnya sebagian nama anggota DPR periode 2009-2014 dalam surat dakwaan Setya Novanto (Setnov). Proses penanganan megakorupsi bagi-bagi uang proyek e-KTP itu tetap terus berjalan. "Penanganan (kasus) e-KTP ini pasti tidak akan sebentar," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, kemarin (15/12/2017).


    Febri menjelaskan, banyak pihak yang diuntungkan dalam korupsi berjamaah e-KTP dengan kerugian Rp 2,3 triliun itu. Bukan hanya para politisi, tapi juga kluster korporasi dan pemerintah. Keterlibatan mereka harus dicermati satu persatu. "Kami butuh energi yang cukup stabil dan panjang agar penanganan kasus-kasus korupsi dengan skala kerugian yang besar bisa ditangani," jelasnya.


    Dalam dakwaan Setnov, KPK membeber banyak pihak yang dianggap diuntungkan dari korupsi proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2012. Dari kelompok pemerintah, KPK menyebut beberapa nama yang sebelumnya juga disebut dalam dakwaan dan tuntutan Irman dan Sugiharto serta Andi Agustinus alias Andi Narogong. Mereka, antara lain, Irman, Sugiharto, mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi, mantan Sekjen Kemendagri Diah Anggraeni, dan ketua panitia pengadaan proyek e-KTP Drajat Wisnu Setyawan. Dari kalangan politisi, ada nama Miryam S. Haryani, Markus Nari, Ade Komarudin, M. Jafar Hapsah dan beberapa anggota DPR periode 2009-2014 yang tidak disebut namanya.


    Sedangkan dari pihak korporasi, jaksa penuntut umum (JPU) KPK mencantumkan nama perorangan dan instansi. Misal, Johannes Marliem, Charles Sutanto Eka Ekapradja, PT Sucofindo, PT LEN Industri, PT Mega Lestari Unggul, PT Sandipala Artha Putra, PT Quadra Solution, dan Perum Percetakan Negara RI (PNRI).


    Febri menjelaskan, penyidik tetap akan melihat sejauh mana perbuatan melawan hukum mereka. Termasuk, dampak hukum bagi yang sudah mengembalikan uang korupsi e-KTP ke KPK. "Kami memang harus memilah ketika perbuatan melawan hukum itu dilakukan personel korporasi, maka yang diproses adalah personel korporasi," tutur Febri memberi contoh.


    Di sisi lain, pengacara Setnov, Firman Wijaya mengatakan KPK yang tahu persis soal keterlibatan pihak-pihak tersebut. Karena itu, lembaga superbodi itu lah yang harusnya membuka sejauh mana keterlibatan mereka. Khususnya, para anggota DPR periode 2009-2014 yang dinilai menikmati uang rasuah sebesar USD 12,856 juta tersebut.


    Firman pun tengah memetakan struktur dakwaan Setnov, termasuk nama-nama yang diduga terlibat. Pihaknya juga bakal mempelajari peran para politisi yang namanya raib dalam dakwaan Setnov. "Mestinya teman-teman di KPK lah yang membuka keterlibatan itu (politisi, Red). Ada Pak Ganjar, Pak Olly. Kami kan belum tahu persis," tuturnya di gedung KPK kemarin.


    Sejauh ini, pihaknya fokus menyusun eksepsi (penolakan) terhadap dakwaan yang dibacakan jaksa KPK pada Rabu (13/12) lalu. Tim penasehat hukum (PH) juga sedang berupaya mencari jalur keadilan lain. Misal, dari aspek hak asasi manusia (HAM). Itu menyusul gugatan praperadilan di PN Jakarta Selatan digugurkan oleh hakim tunggal Kusno pada Kamis (14/12).


    "Saya menyesalkan kenapa sistem peradilan kita tidak saling menghargai. Kan praperadilan itu kan sudah ditetapkan di undang-undang 7 hari," ungkap pengacara yang juga pernah mendampingi Setnov dalam kasus papa minta saham tersebut. "Saya inginnya sistem itu berjalan secara fair dan terbuka," imbuhnya. (tyo/agm)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top