• Berita Terkini

    Rabu, 20 Desember 2017

    Hasil CT Scan Pasien Tertukar, RSUD Wonogiri Siap Digugat

    IWAN KAWUL/RADAR WONOGIRI
    WONOGIRI – Kasus tertukarnya hasil rekam medis pasien terulang. Setelah terjadi di RSUD Bagas Waras Klaten, kini giliran hasil Computerized Tomography (CT) Scan pasien di RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri mengalami hal serupa.

    Pasien atas nama Simi, 62, warga Desa Widoro, Kecamatan Sidoharjo yang menderita diabetes melitus diberikan hasil CT Scan pasien gangguan syaraf otak dengan nama Simi, 80, warga Desa Kebonagung, Kecamatan Sidoharjo dan lebih dahulu meninggal dunia.

    Nah, karena tertukarnya hasil CT Scan tersebut muncul kecurigaan bahwa kematian Simi, warga Desa Widoro pada Sabtu (16/12/2017) disebabkan salah penanganan. Sebab mengacu pada hasil CT Scan yang salah.

    Kemarin, Jawa Pos Radar Wonogiri berusaha menemui pihak keluarga Simi di Desa Widoro. Namun, kepala desa setempat Katino menyarankan agar menunggu setelah prosesi tujuh harian.

    “Kalau bisa jangan sekarang ketemu keluarganya. Setelah tujuh hari saja. Keluarga masih berduka dan belum menentukan sikap atas meninggalnya orang tua mereka,” jelasnya.

    Menurut Katino, Simi warga Desa Kebonagung menderita syaraf otak. Sedangkan Simi warga Desa Widoro diabetes melitus. “Keluarga tahunya hasil CT Scan itu sudah di meja. Setelah dilihat kok namanya sama, tapi usia dan alamatnya beda,” jelas dia.

    Dampaknya, muncul kecurigaan bahwa penanganan medis terhadap Simi penderita diabetes melitus salah. Karena, hasil CT Scan yang diterima juga keliru. Saat masuk RSUD Wonogiri, imbuh Katino, Simi menggunakan status pasien umum dan dirawat di ruang kelas I. 

    Ketika mengetahui biaya perawatan mencapai Rp 8 juta, pihak keluarga meminta Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) ke kantor desa. Tujuannya agar mendapatkan keringanan biaya. “Pakai SKTM sama pihak rumah sakit juga sulit. Padahal kan dalam pancaprogram kan ada, pengobatan bagi warga miskin dipermudah,” tutur dia.

    Atas kejadian itu, kata Katino, pihak keluarga belum menentukan sikap. Pihaknya juga belum mengetahui apakah pihak rumah sakit memberikan kompensasi atau tidak. “Ya nanti setelah tujuh harian, keluarga akan bersikap,” ucapnya.

    Terpisah, Direktur RSUD dr. Soediran Mangun Sumarso Wonogiri Setyarini mengatakan, S (Simi warga Desa Widoro sudah dua kali dirawat di RSUD. Pertama pada 11-17 November. Setelah dinyatakan sehat, Simi diizinkan pulang.

    Tapi, pada 7 Desember 2017, Simi kembali masuk RSUD dengan kondisi yang sudah kompleks. Pasien mengalami penurunan kesadaran, gangguan metabolisme, dan gangguan autoimun. “Penyakitnya sudah rumit, banyak komplikasi,” ujar dia.

    Simi kemudian masuk ke ICU dan mengalami penurunan kesadaran. Jika terjadi kondisi tersebut, lanjut Setyarini, bisa dipastikan ada gangguan pada bagian otak pasien. Karena itu, selanjutnya dilakukan tindakan CT Scan.

    “Ini (Simi warga Desa Widoro, Red) pasien umum. Kemudian minta dirawat di kelas I. Setelah dirawat kan tanya biayanya berapa, tampaknya keluarga pasien keberatan. Kemudian konsultasi ke kasir. Lalu minta (keringanan biaya, Red) dengan SKTM. Kalau kelas I-kan tidak bisa pakai SKTM. Aturan Perbub-nya juga tidak memperbolehkan kalau kelas I pakai SKTM,” bebernya.

    Singkat cerita, demi kemanusiaan, Simi “dipulangkan”. Artinya pasien tidak pulang secara fisik, hanya administrasi. Lalu masuk ke ruang perawatan kelas 3. Saat proses inilah terjadi kesalahan. Di mana saat “dipulangkan” hasil CT Scan Simi tertukar pasien lain dengan nama sama tapi umur, alamat, dan jenis penyakit berbeda.

    “Memang kami akui ada miss di situ. Sudah kita lakukan evaluasi. Sudah dilakukan tindakan, dan sudah dilakukan audit medis juga,” tandas Setyarini.

    Setyarini mengklaim ada pemahaman yang keliru dari keluarga pasien atas tertukarnya hasil CT Scan, sehingga pihak keluarga merasa pengobatannya juga keliru.
    “Yang dilakukan dokter tentang pengobatannya sudah betul, kita sudah lakukan audit medis. Dokter melihatnya juga secara klinis, bukan hanya melihat hasil CT Scan semata,” paparnya.

    Lebih lanjut diterangkannya, setelah Simi pindah ruang perawatan kelas III, pelayanan obat dan dokter tidak berubah. “Dokternya saja ada lima. Ada dokter syaraf, penyakit dalam, kulit, anestesi. Kita rawat bersama,” ucap dia.

    Tapi kondisi Simi terus menurun dan meninggal dunia pada 16 Desember. Pihak rumah sakit, kata Setyarini juga sudah melakukan mediasi dengan pihak keluarga terkait misskomunikasi itu.

    Mediasi yang dimaksud Setyarini adalah berencana mengembalikan biaya perawatan Simi saat di kelas I. Tapi, pihak keluarga belum merespons. Pihak RSUD meyakini pengobatan yang dilakukan dokter sudah benar. Mereka juga mempersilakan jika pihak keluarga akan menempuh jalur hukum.

    “Mau dilanjutkan ke ranah hukum kita juga berani, silakan. Diotopsi pun penyebab kematiannya pasti jelas, bukan karena kesalahan pengobatan,” tandas Setyorini. (kwl/aw/wa)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top