• Berita Terkini

    Kamis, 14 September 2017

    Setnov Dianggap Intervensi Penyidikan E-KTP

    JAKARTA – Surat Setya Novanto yang dikirim ke KPK menimbulkan polemik. Sebab,  tersangka kasus korupsi e-KTP itu meminta agar penyidikan perkara yang menjeratnya dihentikan sebelum ada putusan praperadilan. Langkah itu pun dianggap upaya intervenasi terhadap penanganan kasus yang merugikan negara itu.

    Apalagi surat itu ditandatangani Fadli Zon sebagai wakil Ketua DPR dan dikirim langsung oleh Kepala Biro Pimpinan Kesetjenan DPR Hani Tahapsari ke gedung KPK pada Selasa (12/9) malam lalu.


    Ketua Fraksi Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, pengiriman surat itu melampaui kewenangan pimpinan DPR. Sebab pimpinan itu merupakan corong atau perpanjangan mulut anggota. “Harusnya pimpinan DPR tidak melakukannya. Kami sayangkan pimpinan melampaui batas kewenangannya,” terang dia saat ditemui di gedung DPR sebelum rapat paripurna kemarin (13/9).


    Menurut dia, surat tersebut terkesan ingin mengintervensi terhadap penanganan perkara yang ditangani komisi antirasuah. Seharusnya, tutur dia, pimpinan DPR menghormati proses hukum yang sedang dilaksanakan KPK dan juga menghormati proses praperadilan yang ditempuh Setnov.


    Jika nanti pengadilan memutuskan bahwa penetapan Setnov sebagai tersangka itu tidak sah, maka semua pihak harus menghormati keputusan itu. Begitu juga sebaliknya. Jadi, apa pun keputusan pengadilan harus dihormati, baik oleh Setnov maupun KPK.


    Dadang Rusdiana, anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura mengatakan, pihaknya tidak sepakat jika ada surat yang meminta menghentikan perkara yang ditangani KPK. Sebab, proses hukum di komisi yang diketuai Agus Rahardjo itu tidak boleh diintervensi. Berbeda jika permohonan penangguhan, sebab hal itu sudah diatur. “Kita harus hormati proses di KPK, seperti kita menginginkan KPK agar menghormati proses politik di DPR,” terang dia.


    Apalagi, tutur legislator asal Dapil Jawa Barat II itu, surat tersebut dikirim kepala biro pimpinan kesetjenan. Seharusnya, pejabat kesetjenan tidak boleh melaksanakan perintah pengiriman surat ke KPK. Seolah-olah DPR yang menginginkan penghentian penyidikan itu. Berbeda jika hal itu dilakukan penasehat hukum Setnov.


    Aktivis antikorupsi pun bereaksi keras terhadap surat itu. Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) langsung melaporkan Fadli Zon ke Mahkamah Kehomratan Dewan (MKD). Fadli diduga melanggar kode etik, karena mengirim surat kepada KPK. Dia dianggap menyalahgunakan wewenang dan melakukan intervensi terhadap proses hukum. “Perbuatan itu tidak patut dan merendahkan harkat martabat DPR,” terang Koordinator MAKI Boyamin Saiman saat melapor ke MKD kemarin.


    Sepatutnya pimpinan DPR menolak permintaan Setnov yang memerintahkan surat. Seharusnya, Setnov sendiri yang menyampaikan surat tersebut ke KPK. Menurut Boyamin, Setnov memanfaatkan jabatannya untuk menggunakan lembaga DPR. “Menggunakan kewenangannya untuk kepentingan pribadi,” tegasnya.


    Terpisah, Sekretaris Jenderal Partai Golongan Karya Idrus Marham menyebut bahwa surat pimpinan DPR yang meminta penundaan pemanggilan Setnov sebagai tersangka E-KTP, tidak ada kaitannya dengan Partai Golkar. Menurut Idrus, campur tangan Partai Golkar saat ini adalah ketika dirinya mendatangi gedung KPK pada Senin (11/9), untuk menyampaikan surat keterangan sakit yang dialami ketua umum Partai Golkar itu.


    ”Baiknya itu ditanyakan ke pimpinan (DPR), tugas yang saya lakukan ya dua hari lalu (Senin, red),” kata Idrus usai membesuk Setnov di RS Siloam, Jakarta, kemarin.

    Menurut Idrus, dirinya baru akan melakukan komunikasi-komunikasi terkait keberadaan surat itu. Dalam hal ini, apabila surat permintaan penundaan itu muncul dari Partai Golkar, tidak perlu menggunakan kop atas nama institusi DPR. Meski begitu, Idrus menghargai langkah-langkah yang dilakukan pimpinan DPR saat ini.”Saya punya keyakinan surat itu dikirim pimpinan DPR melalui kajian hukum yang tentu ada dasarnya,” ujar Idrus.


    Fadli Zon menjelaskan, pihaknya hanya meneruksan aspirasi yang disampaikan Setnov. Seperti aspirasi dari masyrakat yang banyak disampaikan kepada dewan. Tentu, semuanya harus sesuai dengan undang-undang yang ada. Jadi, tutur politikus Partai Gerindra itu, semua keputusan diserahkan kepada KPK. Menurut dia, pengiriman surat bukan upaya untuk mengintervensi atau menghalang-halangi penanganan hukum kepada Setnov. “Terserah ke KPK, sesuai aturan saja,” terang dia.


    Sementara itu, Juru Bicara (Jubir) KPK Febri Diansyah menyebutkan bahwa tidak ada satu aturan pun yang mengharuskan penegak hukum menghentikan penyidikan ketika praperadilan berlangsung. "Baik di KUHAP, undang-undang KPK, atau undang-undang Tipikor," ungkap pria yang akrab dipanggil Febri itu.


    Dalam melaksanakan tugas selama ini, sambung Febri, KPK selalu menjadikan undang-undang sebagai pedoman. Karena itu, proses penyidikan kasus dugaan korupsi e-KTP dengan tersangka Setnov terus berlanjut meski ada proses gugatan praperadilan di PN Jakarta Selatan. "Proses praperadilan itu akan berjalan secara paralel (dengan penyidikan). Akan kami hadapi," tegasnya.


    Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo pun mendukung KPK untuk terus melanjutkan penyidikan kasus dugaan korupsi yang menyeret Setnov. "Saya kira KPK akan tetap fokus tanpa perlu menghiraukan surat itu," ucap Adnan. Menurut dia, surat yang disampaikan DPR kepada KPK sudah melampaui ketentuan yang berlaku. "Itu bagian dari intervensi," jelasnya.


    Tentu Adnan tidak asal bicara. Senada dengan Febri, dia menjelaskan bahwa proses hukum yang tengah dilakukan KPK tidak bisa dihentikan. "Itu membuktikan bahwa pimpinan DPR ini sewenang-wenang," kata dia. Untuk itu, dia berharap besar partai politik (parpol) yang berada dibalik pimpinan DPR menindak anggotanya. "Kalau ada Fadli Zon ya Gerindra harus menegur," ujar dia. (lum/bay/syn)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top