• Berita Terkini

    Sabtu, 09 September 2017

    Pendidikan Karakter Tidak Mudah Dijalankan

    JAKARTA- Pendidikan karakter yang digulirkan Presiden Joko Widodo sejatinya bukan hal baru. Di akhir era Presiden Susilo Bambang Yodhoyono, melalui Kurikulum 2013 (K-13), pembelajaran juga menekankan karakter. Meskipun sudah berjalan empat tahunan, pembelajaran berbasis karakter di K-13 tidak mudah dijalankan.


    Ketika K-13 diterapkan, ada sejumlah aspek yang dikeluhkan guru. Diantaranya adalah keharusan guru semua mata pelajaran menyisipkan kompetensi keagamaan dan norma lainnya, banyak guru mengeluh kesulitan.

    Kemudian pengisian rapor yang menggunakan sistem esay, supaya bisa menggambarkan karakter anak, juga sempat dikeluhkan.


    Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan Retno Listyarti mengapresiasi terbitnya Perpres 87/2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Mantan Sekjen Federasi Guru Seluruh Indonesia (FSGI) itu mengatakan penguatan pendidikan karakter tidak akan otomatis mudah dijalankan di lapangan.


    "Guru sebagai ujung tombak penguatan pendidikan karakter perlu panduan teknis dan sejelas-jelasnya," katanya di Jakarta kemarin. Mantan Kepala SMAN 3 Jakarta itu menuturkan ada sejumlah persoalan yang harus diantisipasi dalam pelaksanakan pendidikan karakter di era Presiden Joko Widodo.


    Diantaranya adalah pendidikan karakter di sekolah itu tidak bisa diteorikan atau didiktekan kepada siswa. Karakter harus dibangun melalui seluruh proses pembelajaran di sekolah. "Harus dibangun school culture. Mulai dari kepsek, guru, siswa, orangtua, bahkan masyarakat sekitar sekolah," jelasnya.


    Kemudian pendidikan karakter itu bukan dimulai dari siswanya. Jadi siswa itu bukan objek pertama yang dididik supaya berkarakter. Tetapi guru dan orangtua yang harus dibangu karakternya lebih dahulu. Sebab menurutnya, 70 persen perilaku anak-anak itu hasil meniru orang dewasa.


    Sebagus apapun metode pendidikan karakter, jika gurunya tidak memberikan contoh yang baik, percuma. "Di era pendidikan karakter ini, anak butuh teladan," jelasnya. Dia mencontohkan jika kepala sekolah menunjukkan sikap transparan, maka siswa yang jadi pengurus OSIS juga bakal mencontohnya.


    Dia juga menuturkan pendidikan karakter itu berbeda dengan menjelaskan rumus matematika. Retno mengatakan pendidikan karakter anak itu melalui pembiasaan. Misalnya pembiasaan membuang sampah pada tempatnya. Perilaku ini harus konsisten diajarkan ke siswa tidak hanya di sekolah. Tetapi di rumah dan lingkungan masyarakat. Sehingga bisa terbentuk anak dengan karakter menjaga kebersihan.


    Retno menjelaskan supaya program penguatan pendidikan karakter berhasil dijalankan oleh sekolah, pemerintah harus konsentrasi pada pelatihan guru. Melalui pelatihan itu, guru bisa memiliki visi pendidikan karakter yang sama dengan arahan Presiden. Sehingga bisa terjadi harmoni impelementasi pendidikan karakter mulai dari istana negara sampai di sekolah.


    Di tengah kegiatannya di Kuningan, Jawa Barat, Mendikbud Muhadjir Effendy menjelaskan tengah menyiapkan pedoman dan petunjuk pelaksanaan pendidikan karakter. Saat ini masih dalam proses pembahasan antara Kemendikbud, Kemenkumham, dan Setneg. "Mudah-mudahan bisa secepatnya keluar," tutur dia.


    Muhadjir mengakui bahwa Perpres itu sifatnya teoritis. Sehingga butuh panduan teknis supaya para guru bisa menjalankan dengan mudah di sekolah.

    Dia menegaskan munculnya program penguatan pendidikan karakter ini tidak memiliki konsekuensi anggaran baru. Sebab anggarannya menempel pada setiap program yang sudah ada. Seperti program pelatihan guru dan sejenisnya.


    Sementara itu, Kemenag akan memanfaatkan momentum Perpres PPK ini untuk melakukan standarisasi pelayanan dan pembelajaran yang ada di pesantren. Menurut Dirjen Pendidikan Agama Islam (Pendis) Kamaruddin Amin pendidikan agama memang bisa dijadikan instrumen pembentukan karakter. Namun pembentukan karakter tidak semata persoalan agama.


    "Di pesantren selama ini pemahaman agama sangat bagus, tapi seperti ajaran Nasionalisme, Gotong Royong, Kemandirian, menghargai perbedaan itu harus diperkuat lagi," kata Amin.


    Amin menyebut, momentum Perpres PPK bertepatan dengan program Kemenag menstandarisasi pesantren. Kemenag telah menginventarisir kitab-kitab apa saja yang diajarkan di pesantren. "Nanti kami bikin daftar kitab-kitab yang mu’tabarah  (standar,Red), itu apa saja," katanya.


    Program ini dilakukan untuk memperkuat koordinasi dan hubungan institusional antara pesantren dan Kemenag. Amin menyebut bahwa izin operasional pesantren berada di Kemenag, bantuan-bantuan berupa perlindungan regulasi, sarana dan prasarana serta bantuan peningkatan SDM juga sering diberikan Kemenag.


    Meski demikian, Amin menyatakan Kemenag tidak berusaha untuk melakukan Akreditasi terhadap lembaga non-formal seperti Pondok Pesantren. Kemenag hanya ingin menetapkan standar minimal pelayanan pesantren terhadap santrinya. "Ini upaya biar ada adjusment (penyesuaian,Red) antara pesantren dan PPK," kata Amin.


    Alumnus UIN Alauddin Makassar ini menambahkan bahwa nantinya Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang pendidikan karakter akan mengatur semua institusi baik pesantren maupun madrasah. Khusus madrasah, Kemenag tengah merancang pembelajaran khusus tentang Multikulturalisme. "Dalam waktu dekat akan ada bukunya, masuk dalam kurikulum," pungkas Amin. (wan/tau)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top