• Berita Terkini

    Jumat, 08 September 2017

    Diserbu Produk Impor, Petani Singkong Merugi

    JAKARTA – Petani singkong di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung wajar menjerit. Sebab harga singkong terjun bebas. Catatan Kementerian Pertanian, pada 2015 harga singkong masih Rp 2.400/kg. Tetapi dalam dua tahun terakhir, harga cassava itu jatuh hingga di kisaran Rp 674/kg.


    Kenapa harga komunitas pangan nasional itu sampai jatuh dan bagaimana solusi pemerintah, menjadi topik dalam seminar soal singkong di LIPI Cibinong Science Center (CSC), Kab. Bogor kemarin (7/9). Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember Ahmad Subagio, salah satu pembicara, mengungkapkan kronologi sampai harga singkong jatuh cukup dalam.


    Dia menceritakan pada April/Mei tahun lalu harga singkong sudah menunjukkan penurunan tajam. Yakni dari Rp 2.000an/kg menjadi Rp 1.250/kg. Lalu harga singkong terus merosot sampai saat ini di kisaran Rp 600/kg. Ahmad menjelaskan pemicunya adalah melimpahnya impor tepung tapioka dari Thailand dan Vietnam.

    Selama ini harga singkong di pasaran nasional stabil di kisaran Rp 2.000/kg karena tepung tapioka dari Thailand dan Vietnam dikirim ke Tiongkok. Tetapi tahun lalu Tiongkok menghentikan kiriman tepung tapioka karena pertimbangan ekonomi. ’’Karena sudah terlanjur diproduksi, tepung tapioka itu masuk ke Indonesia. Dan merusak harga,’’ jelasnya.


    Ahmad meluruskan bahwa impor singkong yang sempat heboh itu bukan singkong dalam wujud masih utuh atau batangan. Tetapi impor singkong dalam bentuk olahan tepung tapioka. Menurut informasi yang dia terima, harga tepung tapioka dari Thailand dan Vietnam itu sekitar Rp 4.000/kg.


    Dengan harga tepung tapioka yang hanya Rp 4.000/kg, industri tanah air lebih memilih produk impor. Dari pada repot-repot membeli singkong dari petani nasional. Apalagi ketika membeli singkong dari petani lokal, masih butuh ongkos pengolahan sampai menjadi tepung tapioka.



    Menurut Ahmad tepung tapioka merupakan komuditas menggiurkan. Diantaranya untuk industri agrokimia seperti pembuatan MSG, lalu industri makanan seperti untuk mi, dan industri kimia lain seperti kosmetik. Bahkan tepung tapioka juga digunakan oleh industri kayu.


    ’’Nilai perdagangan singkong dan produk turunannya itu mencapai Rp 100 triliun. Mengalahkan kedelai yang hanya Rp 20 triliun,’’ tuturnya. Sayangnya pemerintah belum memanikan kebijakan strategis di industri pangan singkong ini. Celakanya produk tepung tapioka impor dibebaskan dari bea masuk.


    Kepala Bidang Cadangan Pangan, Badan Ketahanan Pangan, Kementan Komarudin menuturkan harga jual singkong harus menguntungkan bagi petani. Menurutnya harga jual singkong yang di kisaran Rp 600 – Rp 700/kg itu sangat jatuh dan membuat petani rugi.


    Untuk itu saat ini Kementan sedang mengkaji penetapan harga acuan penjualan singkong. Namun penetapannya nanti dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan. Menurut Komarudin kajiannya masih butuh waktu. Sehingga belum bisa ditetapkan dalam waktu dekat. ’’Perlu kajian dan sejumlah pertimbangan,’’ tuturnya.


    Saat ini ada tiga skenario terkait rencana penetapan harga acuan singkong. Skenario pertama adalah menetapkan harga acuan nasional. Harga break even point (BEP) usaha tani singkong dalam skenario pertama ini ditetapkan Rp 968/kg. Dengan acuan ini, harga acuan nasional ditetapkan Rp 1.040 sehingga petani untung 7,39 persen. Atau harga acuan dimaksimalkan lagi mencapai Rp 1.120, sehingga petani untung 15,65 persen.


    Skenario kedua adalah menetapkan harga acuan untuk Provinsi Lampung saja. Sebab Lampung adalah salah satu sentra petani singkong. Di skenario kedua ini, patokan BEP usaha tani singkong adalah Rp 886/kg. Pemerintah berencana menetapkan harga acuan Rp 910/kg, sehingga petani untung 2,67 persen. Atau maksimal Rp 980/kg, sehingga petani untung 10,57 persen.


    Skenari ketiga adalah menetapkan harga acuan di Provinsi Jawa Tengah, dimana salah satu sentranya adalah daerah Pati. Komarudin mengatakan patokan BEP usaha tani singkong di Jawa Tengah Rp 1.116/kg. Sementara harga di pasaran Rp 800/kg. Sehingga petani singkong di Jawa Tengah saat ini merugi sekitar 28,33 persen.

    Pemerintah menyiapkan harga acuan singkong di Provinsi Jawa Tengah Rp 1.040/kg. Tetapi dengan harga ini, petani masih merugi 6,83 persen. Sedangkan ketika harga acuannya dinaikkan jadi Rp 1.120/kg, petani hanya untung tipis sebesar 0,33 persen. ’’Jawa Tengan dilematis. Mau ditingkatkan lagi, apakah nanti industri mau membelinya,’’ tutur Komarudin.


    Ketua Umum Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) Suharyo Husen menyambut baik rencana penetapan harga acuan singkong itu. Namun menurutnya harga yang dipaparkan oleh Kementan itu belum mempertimbangkan suara dari kalangan industri. ’’Sekilas harganya tinggi-tinggi. Di atas Rp 1.000 semua. Pertanyaan apakah industri mau membeli singkong dengan harga itu,’’ tuturnya.


    Menurut Suharyo, dengan harga tepung tapioka impor yang hanya Rp 4.000/kg sementara harga singkong lokal Rp 1.000-an/kg, industri jelas memilih tepung yang sudah jadi. Sebab tidak perlu proses pengolahan lagi. Dia berharap pendekatan pemerintah tidak sebatas menetapkan harga acuan saja. Lebih dari itu membuat klaster petani singkong. Di dalamnya singkong diolah dahulu sebelum dijual. Sehingga produk yang dijual petani lebih memiliki harga tinggi.


    ’’Misalnya diolah dahulu menjadi gaplek atau tapioka kasar,’’ harganya bisa lebih mahal. Harga gaplek sekarang bisa mencapai Rp 3.000/kg. Sedangkan harga tepung tapioka kasar bisa Rp 10.000/kg. Selain itu dengan membuat kelompok atau klaster, petani bisa menghasilkan produk lebih besar secara kolektif. Menurut dia selama petani menjual sendiir-sendiri, hasilnya tidak maksimal.


    Suharyo menghitung dengan klaster petani singkong yang mencapai 300 hektar dengan jumlah anggota 120 petani, setiap orangnya bisa menghasilkan untung Rp 4 juta sampai Rp 5 juta setiap bulan. Sebab dengan luasan 300 hektar, setiap petani bisa mengolah sampai 2,5 hektar. ’’Sekarang tinggal menunggu investor yang siap membuka lahan tidur 300 hektar untuk klaster petani singkong,’’ tuturnya.


    Sementara itu, pelaku usaha menyebutkan jika penetapan harga acuan ketela otomatis akan menambah biaya produksi. ”Tapi jika harga terlalu rendah juga tidak menggairahkan petani. Maka dari itu selain mengatur harga seharusnya pemerintah juga membantu petani untuk menurunkan biaya produksi karena kenyataannya singkong di Vietnam dan Thailand lebih murah,” ujar Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman.


    Adhi menggambarkan bahwa kebutuhan pengusaha makanan dan minuman akan tapioka, sebagai turunan dari bahan baku ketela, mencapai 1 juta ton per tahunnya. ”Dari jumlah tersebut presentase impor sekitar 200 ribu ton per tahun. Terutama pada saat tidak musim, kita harus impor,” bebernya.


    Menurut Adhi saat ini pelaku usaha akan berupaya mematuhi apapun yang menjadi keputusan pemerintah. Namun sebagai catatan, pengusaha berharap pemerintah banyak membantu dalam peningkatan dan efisiensi produksi. ”Sehingga kita tetap bisa bersaing dengan global, sementara petani tetap mendapat margin yang layak. Dengan begitu industri pangan hilir bisa berdaya saing,” ujar Adhi.


    Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun menyebutkan pemerintah harus jeli dengan data sebelum memutuskan untuk menetapkan harga acuan. ”Perlu dipertanyakan simpulannya tentang ketersediaan ketela dalam negeri, evaluasi penyerapannya sudah maksimal atau belum. Sebab, kalau laporan dari anggota Akumindo di Pati, komoditas ketela surplus dan belum terserap maksimal,” ujar Ikhsan.


    Selain banyak digunakan untuk bahan baku pangan, ketela juga banyak digunakan pelaku usaha dan  industri di sektor pakan ternak. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ternak (GPMT) Desianto Budi Utomo menyampaikan bahwa kenaikan harga ketela akan sangat mempengaruhi produksi, sehingga berharap harganya tidak terlalu tinggi. ”Struktur biaya pakan 80 persen lebih itu ditentukan dari cost atau biaya bahan baku pakan yang digunakan. Jadi sangat dipengaruhi oleh harga bahan baku masing-masing,” ujar Desianto.

    Dirinya menambahkan, selama ini lebih dari 92 persen pakan yang dihasilkan oleh anggota GPMT adalah untuk ayam atau unggas. Dalam formula pakan unggas, porsi bahan baku cassava atau ketela sekitar 3 sampai 5 persen. Bahan baku ketela lebih banyak dipakai untuk pakan ruminansia.


    Desianto mengungkapkan bahwa selama ini pengusaha ternak pun juga masih mengandalkan pasokan impor untuk produksi. Pengusaha menilai jika mengandalkan bahan baku dalam negeri saja tak cukup. ”Kami pakai keduanya (ketela lokal dan impor, red). Kenapa masih pakai impor, karena soal kualitas dan kuantitasnya yang stabil,” ujarnya.

    Desianto melanjutkan, jika penetapan harga acuan nantinya mengerek harga ketela lokal tanpa diimbangi dengan kualitas dan kelancaran pasokan, pengusaha akan semakin sulit untuk memaksimalkan penyerapan bahan baku ketela lokal. (wan/agf)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top