• Berita Terkini

    Kamis, 14 September 2017

    Awas, 2018 Kekeringan Makin Meluas

    JAKARTA – Kekeringan yang melanda Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara harus segera mendapatkan solusi permanen. Sebab, pada 2018 mendatang, tingkat kkeringan diperkirakan lebih tinggi. Antisipasi yang tepat dari pemerintah maupun masyarakat akan bisa setidaknya meminimalisir dampak kondisi kekeringan itu.



    Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyebut kekeringan tahun ini adalah akumulasi dari aktivitas yang merusak lingkungan. "Siapapun tahu kalau prosesnya sudah terjadi sejak lama," katanya.



    Dalam laporan dari berbagai daerah, Siti menyebut indikator paling konkrit adalah laporan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heriawan tentang mata air Cicurug. "Sumber air itu sudah lama nggak pernah kering, sekarang malah kering," kata Siti di gedung DPR kemarin (13/9).



    Siti menyebut ada problem "hulu" yakni melemahnya kawasan hutan sebagai kekuatan utama penyimpan air tanah. Terkikisnya hutan disebabkan oleh banyak faktor seperti illegal loging, alih fungsi lahan, sampai penataan kawasan. "Penataan ruangnya di daerah juga kadang tidak tepat," ungkapnya.



    Dalam catatan KLHK, pada tahun 2000, ditemukan deforestasi di indonesia telah menyentuh angka 2 juta hektar. Saat itu kewenangan pengelolaan hutan masih berada di Bupati/Walikota. Setelah ditarik ke KLHK, proses deforestasi bisa diperlambat. Pada tahun 2014 terekam proses deforestasi mencakup 400 hektar lahan. "Tapi hitungannya naik karena ada karhutla, jadi 600 sampai 800 hektar," kata Siti.



    Siti menegaskan bahwa persoalah hulu ini mesti diwaspadai. Pada tahun 2018 masa kemarau disebutnya bakal lebih panjang. Hanya ada curah hujan tinggi pada periode Januari hingga Februari. Kawasan NTT dan NTB curah hujannya masih rendah. "Untuk kawasan Riau sudah harus waspada sejak Mei," ungkapnya.



    Sementara reboisasi maupun restorasi hutan tidak akan terjadi dalam waktu singkat. Tahun ini KLHK telah mengupayakan penanaman kembali 5.400 hektar lahan. DPR pun telah menyetujui penambahan anggaran penanaman hutan dari Rp. 800 miliar hingga menjadi Rp 1,1 triliun pada tahun ini.



    Beberapa budidaya komoditas tanaman kata Siti juga berpengaruh. Seperti di NTB yang ramai-ramai membuka lahan untuk tanaman jagung. Namun, ia menyatakan masih akan melakukan pendalaman lebih lanjut tentang seberapa parah kerusakan wilayah hutan di Jawa dan Nusa Tenggara. "Bener-bener harus kita cek dan pastikan ke lapangan,"Pungkasnya.Awas, 2018 Kekeringan Makin Meluas



    Sementara itu, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Prof Hariadi Kartodihardjo menjelaskan, salah satu bentuk perusakan lingkungan di Jawa adalah alih fungsi lahan. ’’Saat ini, alih fungsi lahan sudah sangat masif,’’ terangnya kepada Jawa Pos. Ditambah lagi, perkembangan pertanian komoditas komersial di dataran tinggi, seperti kentang dan kol semakin pesat.



    Di Jawa, tuturnya, sebenarnya selama 10 tahun terakhir ada penambahan jumlah hutan rakyat untuk suplai bahan baku industri. Namun, lokasinya kebanyakan berada di dataran rendah sehingga tidak terlalu membantu. ’’Pulau Jawa yang sudah rendah daya dukungnya, diperlakukan sama dengan pulau-pulau lain sebagai lokasi kegiatan ekstraktif,’’ lanjutnya.



    Contohnya adalah pembangunan perumahan di kawasan lindung, pabrik semen, dan lainnya. Untuk saat ini, tidak banyak yang bisa dilakukan pemerintah selain menyuplai air bersih sebanyak mungkin ke daerah yang kekeringan. Sebab, jelas Hariadi, perbaikan lingkungan tidak bisa dilakukan secara instan.



    Untuk pulau Jawa, tambahnya, cara terbaik adalah menyetop pertumbuhan industri ekstraktif. Di saat bersamaan, pemulihan lingkungan wajib dilakukan terhadap kawasan yang rusak. Selain itu, pemerintah bisa memberi akses kepada petani miskin untuk menggarap hutan atau lahan negara dengan sistem agroforestry. Sehingga, tdiak sampai mengganggu keberadaan hutan.



    Pandangan lain disampaikan Peneliti Centre For International Forestry Prof Herry Purnomo. Menurut dia, secara umum perubahan iklim global tetap berpengaruh terhadap apa yang terjadi di Jawa hingga Nusa Tenggara Belakangan ini. Selain tentunya kerusakan lingkungan.



     Herry menuturkan, sebenarnya luasan hutan di pulau Jawa beberapa tahun belakangan meningkat. ’’Tapi tetap saja menghadapi iklim yang merupakan variabel global (tidak banyak berpengaruh)’’ terangnya. Perubahan iklim terjadi karena penyebab lokal maupun global.



    Hutan di Afrika maupun Amazon saat ini terus menyusut. Setiap tahun, ada tujuh juta hektare hutan yang menghilang. Itu berdampak kepada perubahan iklim yang akhirnya berimbas kepada kondisi yang ada di Indonesia saat ini.



    Menurut dia, kuncinya saat ini adalah kemampuan masyarakat dan pemerintah untuk beradaptasi dengan kondisi perubahan iklim tersebut. Di saat bersamaan, melakukan aksi-aksi penyelamatan lingkungan untuk setidaknya mengurangi dampak. ’’Karena kalau berharap kembali seperti dulu ya jelas tidak bisa,’’ lanjut Guru Besar Institu Pertanian Bogor itu.



    Langkah yang bisa dilakukan, misalnya dalam hal pertanian menyiapkan bibit yang tahan terhadap kekeringan. Kemudian, bisa juga dengan menata lahan dan tutupan hutan, juga lebih pandai menggunakan air, dalam hal ini dengan meghemat.



    Sementara itu, untuk mendukung ketahanan air dan pangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) terus mengejar pembangunan bendungan. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan, hingga 2019 nanti, setidaknya ada 65 bendungan yang rampung. ”Itu meliputi 16 bendungan yang belum selesai dan 49 bendungan baru,” tuturnya.



    Dia menjelaskan, hingga 2016 sudah ada tujuh bendungan yang selesai dibangun. Yakni Bendungan Rajui Aceh, Bendungan Jatigede Sumedang, Bendungan Bajulmati Banyuwangi, Bendungan Nipah Madura, Bendungan Titab Bali, Bendungan Paya Seunara Sabang, dan Bendungan Teritip Balikpapan. Sementara itu, pada 2017 ditargetkan ada tambahan beberapa bendungan baru seperti Bendungan Raknamo di Kupang, Bendungan Tanju NTB, dan Bendungan Mila NTB.



    Pada 2017 juga akan dibangun sembilan bendungan baru . Yaitu Bendungan Rukoh di Aceh, Way Apu di Maluku, Baliem di Papua, Lausimeme di Sumatera Utara, Sidan di Bali, Pamukkulu di Sulawesi Selatan, Komering II di Sumatera Selatan, Bener di Jawa Tengah, dan Bendungan Temef di NTT.



    Selain membangun bendungan, Kementerian PUPR juga membangun embung. Di Madura misalnya, Kementerian PUPR berencana membangun beberapa embung. Yaitu Embung Cangkerman, Embung Samiran di Pamekasan, Embung Batolebar di Sampang, dan Embung Air Baku Poja Parsanga di Sumenep serta pengamanan Pantai Slopeng di Sumenep.



    Tahun depan, Kementerian PUPR akan membangun lebih banyak lagi bendungan. Anggaran yang diberikan kepada Kementerian PUPR akan dialokasikan untuk pembangunan 47 bendungan, dengan komposisi 11 bendungan baru dan 36 bendungan yang merupakan lanjutan pekerjaan tahun sebelumnya (on-going). Sebanyak 54 embung baru juga akan dibangun.



    ”Antara lain Embung Gede Bage Bandung, Embung Rawasari Tarakan, Embung Luhar Hantu Solok, Embung Marsi Sisir Kaimana, Embung Kresek Madiun, Embung Tanjung Agung Bulungan, dan Embung Simarumbak-Rumbak Humbang Hasundutan,” terang Basuki.



    Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Willem Rampangilei menuturkan telah disediakan dana Rp 150 miliar untuk mengatasi kekeringan pada tahun ini. Dana tersebut bisa dimanfaatkan oleh seluruh kabupaten atau kota yang membutuhkan penanganan segera. ”Kalau habis atau kurang bisa ditambahkan lagi. Tapi sementara ini masih cukup itu,” ujar dia usai rapat dengan Komisi VIII DPR, kemarin (13/9).



    Dana tersebut bisa dipergunakan untuk bantuan sewa kendaraan yang dipakai untuk mengirimkan air ke daerah kekeringan. Anggaran itu juga bisa dipakai untuk hujan buatan di daerah yang benar-benar kekeringan kritis. ”Sesuai perintah presiden, droping air untuk kebutuhan masyarakat tidak boleh terputus. Jadi harus lancar,” tegas dia.



    Sedangkan hujan buatan hingga saat ini masih belum ada permintaan dari kabupaten/kota. Selain itu, untuk membuat hujan buatan juga harus ada awan yang cukup. Sehingga rekayasa cuaca itu bisa diterapkan. ”Jadi itu sangat bergantung pada situasi awan,” kata Willem.



    Lebih lanjut, Willem menuturkan kabupaten/kota perlu menetapkan status darurat bencana kekeringan untuk bisa mememanfaatkan dana siap pakai. Saat ini memang sudah ada banyak daerah yang telah menetapkan status tersebut.  ”Kalau tidak ada pernyataan darurat itu tidak bisa dipergunakan dana itu,” ungkap dia.



    Data dari BNPB, ada 25 kabupaten/kota di Jawa Timur yang telah menetapkan status tanggap darurat bencana kekeringan sejak pekan lalu. Status tersebut merupakan kelanjutan dari status siaga bencana kekeringan. Di Jawa Barat, ada delapan kabupate/kota yang menetapkan siaga darurat bencana kekeringan. Yakni Kabupaten Ciamis, Cianjur, Indramayu, Karawang, Kuningan, Sukabumi, Kota Banjar, dan Kota Tasikmalaya.



    ”Kalau Jawa Timur sementara ini dicukupi pakai dana APBDnya,” kata Kapala pusat data, informasi, dan humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho. (tau/byu/and/jun)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top