• Berita Terkini

    Selasa, 11 Juli 2017

    Penuntutan E-KTP Terhambat, Terdakwa Irman Muntah-Muntah Di Rutan KPK

    JAKARTA – Kendala demi kendala pengusutan kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) terus bermunculan. Setelah mangkirnya sejumlah politikus yang membuat penyidikan e-KTP untuk Andi Agustinus alias Andi Narogong terhambat, kini giliran sidang terdakwa Irman dan Sugiharto batal digelar kemarin (10/7).


    Gara-garanya, Irman masih menjalani perawatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto karena mengalami sakit di bagian lambung. Mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) itu dirawat di RSPAD sejak Kamis (6/7) setelah mengeluh sakit perut hebat disertai muntah berak (muntaber).


    Insiden yang membuat sidang e-KTP dengan agenda pembacaan nota pembelaan terdakwa (pledoi) Irman dan Sugiharto ditunda Rabu (12/7) besok itu sempat dipertanyakan ketua majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Jhon Halasan Butar-Butar. ”Ini seyogyanya diberitahukan kepada majelis hakim,” tanyanya saat sidang, kemarin.


    Wajar saja majelis hakim mempertanyakan miss koordinasi tersebut. Sebab, laporan bahwa Irman mengalami sakit perut hebat hingga tidak bisa hadir dalam sidang itu terlambat dilaporkan oleh jaksa penuntut umum (JPU) KPK ke hakim. ”Begitu ada keperluan untuk membawa (Irman) berobat meninggalkan tahanan tempo hari, begitu juga muncul kewajiban untuk melaporkan kepada majelis hakim,” tutur Jhon kepada jaksa penuntut KPK.


    Bukan hanya itu saja kejanggalan dibalik sakit lambung yang dialami Irman. Ada pula kejanggalan lain. Yakni, soal penyebab kenapa Irman bisa mengalami diare dan dilarikan ke RSPAD. Padahal, Irman sudah dirawat sejak Kamis pekan lalu. Pihak KPK dan penasehat hukum (PH) Irman mengaku belum mendapat laporan resmi terkait apa yang menyebabkan terdakwa e-KTP itu sampai muntah-muntah di Rutan KPK C1 (gedung KPK lama).


    Jaksa KPK Wawan Yunarwanto mengatakan, pihaknya memang belum mendapat laporan resmi dari pihak rumah sakit terkait penyakit apa yang sebenarnya dialami Irman. Sepengetahuannya, Irman mengalami muntaber pada Rabu (5/7) malam sampai Kamis (6/7) pagi saat berada di Rutan C1 KPK. ”Sampai kehabisan cairan (dehidrasi),” terangnya kepada Jawa Pos.


    Melihat kondisi Irman yang tidak biasa, petugas jaga KPK lantas memanggil tim dokter KPK. Atas saran dokter, Irman kemudian dirujuk ke rumah sakit pada Kamis siang karena kondisinya yang sangat lemah akibat dehidrasi. Sesampainya di RSPAD, Irman diminta untuk menjalani rawat inap karena ditemukan masalah di bagian lambung.


    ”Setelah diobservasi, ternyata tidak hanya diare, tapi ada lambung yang bermasalah, sehingga sampai hari ini belum bisa datang,” papar Wawan. KPK juga belum mengetahui apakah ada makanan atau minuman dari luar, selain yang rutin diberikan petugas rutan, yang dikonsumsi Irman sebelum mengeluh sakit perut. KPK juga belum tahu siapa saja yang mengunjungi Irman sebelum insiden itu terjadi. ”Kami belum menerima laporan itu,” ungkapnya.


    Sebagai catatan, selama ini KPK cukup selektif memberikan izin kepada pengunjung yang ingin memberikan makanan kepada tahanan. Pengunjung, khususnya keluarga, hanya diperbolehkan berkunjung pada Senin dan Kamis (pagi sampai siang). Setiap makanan dan minuman yang dibawa lebih dulu melalui proses screening. Makanan yang tidak sesuai ketentuan dilarang masuk.


    Berdasar informasi yang diterima Jawa Pos, Irman sempat mengakonsumsi minuman isotonik sebelum akhirnya muntah-muntah di rutan pada Rabu malam. Kemarin, Jawa Pos mencoba mengunjungi Irman yang dirawat di kamar nomor 501 gedung paviliun RSPAD Gatot Soebroto. Sayang, petugas KPK yang menjaga Irman tidak mengizinkan masuk. Hanya isteri dan anak Irman saja yang mendapat akses.


    Petugas itu menyampaikan, KPK menempatkan personel untuk menjaga ketat ruang perawatan Irman. ”Dijaga satu kali 24 jam,” kata pria bertubuh jangkung tersebut. Selama berada di rumah sakit militer itu, Irman ditangani dua dokter. Yakni dokter penyakit dalam dan dokter saraf. Sampai kemarin, Irman belum diizinkan pulang lantaran salah dokter saraf belum memberi izin.


    ”Dokter penyakit dalam sudah izinkan pulang,” ungkapnya. Secara fisik, sambung dia, kondisi Irman terus membaik. Setidaknya lebih baik ketimbang ketika kali pertama dia dibawa dari Rutan C1 KPK ke RSPAD. ”Sudah mendingan. Besok (hari ini) sudah pulang,” kata dia.

    Apakah gejala yang dialami Irman akibat keracunan ? Penasehat hukum Irman, Susilo Ariwibowo belum mau berspekulasi. Sebab, sampai kemarin diagnosa dokter RSPAD belum sampai ke tangannya. ”Jangan bilang diracun dulu. Kita lihat dulu sakitnya apa, kan medis juga belum (memberikan laporan hasil pemeriksaan),” ungkapnya kepada Jawa Pos.

    Susilo mengatakan, penundaan agenda sidang kemarin sejatinya merugikan kliennya. Itu seiring mundurnya jadwal pembacaan pledoi yang dibuat Irman dan Sugiharto, serta penasehat hukum. Rencananya, Irman dan Sugiharto akan membacakan pembelaan terhadap tuntutan jaksa KPK. ”Kami ingin lebih cepat lebih baik, toh pembelaan sudah siap semua,” ungkapnya.


    Penyebab sakitnya Irman juga membuat Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) curiga. Pasalnya, kasus korupsi memiliki tingkat kerawanan yang tinggi. Apalagi, korupsi e-KTP yang begitu besar dan diduga melibatkan banyak pihak, tentu risiko ancaman muncul dari berbagai sisi. Saksi, pelapor, tersangka dan apalagi JC berpeluang besar untuk diganggu. ”Korupsi sejak dulu memiliki karakteristik semacam itu,” ujar Ketua Abdul Haris Semendawai.


    Koruptor secara umum memiliki kemampuan baik finansial dan politik untuk melakukan perlawan. ”Perlawanan ini bisa dengan menghilangkan barang bukti, meneror saksi dan bahkan melukai secara fisik. Target utamanya kasus tersebut tidak merembet ke koruptor tersebut,” terangnya.


    Maka, saat ini bola ada ditangan KPK. Lembaga super bodi itu harus dengan cepat memastikan penyebab sakitnya Irman, benar diracunkah atau hanya masalah kesehatan biasa. Bila benar karena diracun tentu ada berbagai langkah yang wajib ditempuh. Abdul Haris Semendawai menuturkan, langkah utama tentu melindungi Irman dengan lebih ketat. ”Selanjutnya, melakukan analisa bagaimana caranya Irman diracun,” tuturnya.


    Analisa harus dilakukan secara mendalam terhadap kondisi dan situasi dari Rutan C1 KPK tersebut. Siapa pembawa racun, bagaiamana masuknya hingga dimakan atau diminum Irman harus terjawab. ”Dengan begitu, semua pihak yang terlibat harus diseret ke pengadilan,” tegasnya ditemui di ruang kerjanya kemarin.

    Sebenarnya, dalam kasus e-KTP, LPSK pernah menawari Miryam S. Haryani untuk dilindungi LPSK. Sebab, beberapa waktu lalu ada informasi bahwa dia mendapatkan teror dan gangguan. Sayangnya, ternyata tawaran tersebut bertepuk sebelah tangan. Miryam tak menggubris keinginan negara melindunginya baik secara fisik dan psikologis. ”Tak ada respon sama sekali,” ujarnya.


    Untuk Irman dengan status JC, LPSK masih berupaya mengecek apakah pernah LPSK menawarinya untuk mendapat perlindungan. ”Ini kami pastikan dulu, tapi sebenarnya kami punya kesepakatan dengan KPK,” jelasnya.


    Kesepakatan itu adalah KPK akan meminta bantuan LPSK untuk melindungi JC, saksi dan sebagainya yang dinilai terancam. Namun, dengan persyaratan telah pasti bahwa terdapat risiko bila tidak dilindungi. ”Sayangnya, itu semua bergantung KPK dan orang yang terancam. Kalau KPK tidak meminta, LPSK hanya bisa menawari saja,” ungkapnya.


    Sementara Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menjelaskan, JC merupakan status penting dalam sebuah kasus, karena dia dalam kasus tersebut tidak hanya mengakui, namun juga kooperatif untuk menunjukkan peran koruptor lain dan menggambarkan secara utuh kasus tersebut. ”Maka, seharusnya perlindungan terhadap JC itu seharusnya diutamakan,’ tuturnya.


    Bila benar, Irman ini diracun, maka dapat dipastikan perlu evaluasi menyeluruh terhadap kemampuan KPK dalam melindungi JC. Apalagi, JC ini berada dalam rutan yang dikelola KPK. ”Penahanan ini bukan hanya mencegah melarikan diri, namun juga berfungsi melindungi tersangka apalagi JC,” jelasnya.

    Selama ini, LPSK belum pernah menganalisa bagaimana tingkat keamanan rutan C1 KPK terhadap saksi dan tersangka. Namun, kedepan tentu perlu untuk KPK berbenah diri. ”Sehingga, JC aman dari setiap gangguan koruptor,” tuturnya.


     Sementara Abdul Haris menambahkan, secara umum memang niat dari penegakan hukum seperti KPK, Polri dan Kejagung dalam melindungi saksi, tersangka dan JC belum bulat.”Belum penuh melindungi,” tuturnya.


    Dengan kejadian ini, diharapkan semua menjadikannya pembelajaran sehingga perlindungan saksi dan korban menjadi hal utama. ”Tidak bisa dikesampingkan agar penanganan kasus berjalan lancar,” ujarnya. (tyo/syn/idr)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top