• Berita Terkini

    Jumat, 28 Juli 2017

    Kasus PT IBU Bikin Miris Pengusaha

    JAKARTA – Penggerebekan dan penyegelan gudang beras PT Indo Beras Unggul (PT IBU) di Bekasi pada 20 Juli lalu dikhawatirkan mengintimidasi pelaku usaha. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) meminta pemerintah lebih hati-hati mengintervensi pasar. Sekali salah instrumen, para pelaku usaha akan ketakutan.


    ”Ketika pemerintah mengintervensi dengan cara instan, menggunakan sistem komando, justru akan menimbulkan distorsi pada persaingan yang sebenarnya sehat,” kritik Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati kemarin (27/7). ”Jika tidak hati-hati, ini yang disebut dengan government failure,” lanjutnya.


    Dalam kasus perberasan, lanjut Enny, jika terjadi disparitas harga yang terlalu lebar, yang perlu dilakukan pemerintah adalah menghilangkan dominasi penguasaan pasokan. Bukan dengan  mengintimidasi pelaku usaha beras. Apalagi, dengan tuduhan-tuduhan tak berdasar.


    PT IBU dituduh menjual beras medium terlalu mahal, yaitu di atas Rp 20 ribu per kg. Pemerintah memiliki acuan harga tertinggi beras medium Rp 9.500 per kg. Namun, PT IBU beralasan berasnya dijual dengan harga tinggi karena proses pengolahannya yang bagus. Sehingga pasar tetap mau menyerap meski harganya mahal. Bukan karena praktik kotor.


    Selain itu, PT IBU dinilai melanggar karena membeli gabah ke petani dengan harga yang lebih tinggi dari harga pembelian pemerintah (HPP). Yaitu Rp 4.900 per kg berbanding Rp 3.500 per kg.


    Enny menilai pricing PT IBU maupun pembelian gabah petani di atas HPP itu bukan pelanggaran. ”Jika ada industri yang membeli di atas harga acuan, harusnya dapat award. Pelaku usaha yang lain saja sampai harus dipaksa agar harga mau membeli sesuai harga HPP,” beber Enny.


    Pemberian subsidi pupuk, bibit, maupun pestisida, tidak menjadi alasan bagi pemerintah untuk melarang pelaku usaha membeli gabah dari petani di atas harga pembelian pemerintah (HPP). ”Artinya memang untuk petani, mau petani jual berapa tidak ada kaitannya. Kalau kemudian harganya ikuti permintaan pemerintah, kesannya pemerintah kasih subsidinya tidak ikhlas,” ujar Enny.


    Perlakuan pemerintah kepada PT IBU sedikit banyak berdampak pada psikologis pengusaha beras lain. Mereka khawatir usahanya juga bermasalah. ”Nanti jangan-jangan juga ada kesalahan-kesalahan yang kami lakukan,” kata Ketua Umum Persatuan Penggilingan Padi dan Pengusaha Beras Indonesia (Perpadi) Sutarto Alimoeso.


    Selain itu, kasus tersebut membuat pengusaha merasa waswas membanderol harga beras di atas Rp 9.500 per kilogram, sesuai dengan acuan pemerintah. Padahal, menurut Sutarto harga acuan yang ditetapkan pemerintah hanya sebatas referensi, sebab pembentukan harga beras di konsumen ditentukan oleh beberapa faktor. ”Karena dari hulu sampai hilir ada biaya. Bicara soal on farm, ada banyak variabel mulai dari pupuk, tenaga kerja, mesin, pengairan, dan lain-lain. Itu semua komponen biaya, dan di setiap daerah bisa berbeda-beda,” tambahnya.


    Sutarto menambahkan, kualitas beras medium atau premium dipengaruhi oleh beberapa hal. Misalnya derajat sosoh, pecahan bulir, dan sebagainya. ”Jadi wajar saja jika harga di konsumen bisa berbeda meskipun berasal dari benih yang sama. Karena pengaruh dari rantai tata niaganya,” pungkasnya.


    Definisi Beras Subsidi yang Salah Kaprah
    Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi menilai pemerintah salah kaprah jika mendefinisikan kasus beras yang terkait PT IBU adalah beras subsidi. Sebab, definisi beras subsidi telah diatur oleh pemerintah sendiri, yakni berjumlah 15 kilo untuk satu keluarga miskin setiap bulannya.


    ”Meski pemerintah memberi subsidi dalam pengembangan pertanian, hasil output-nya tidak hanya barang subsidi,” jelas Viva.


    Menurut Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional itu, pemerintah telah menetapkan  harga pembelian pemerintah (HPP) terutama untuk gabah dan beras medium. Jika ada pihak yang membeli di atas HPP pemerintah, hal itu tentu tidak melanggar hukum. ”Justru dengan adanya pelaku usaha membeli diatas HPP, ini menguntungkan petani,” ujarnya.


    Menurut Viva, jika memang terjadi indikasi pemalsuan, Komisi IV mendukung hal ini masuk dalam ranah hukum. Namun, cara berpikir pemerintah, terutama Satgas Pangan, menurut Viva harus diluruskan. ”Menurut kami Satgas Pangan jangan salah arah, jangan sampai ada kepentingan moral hazard. Dalam posisinya sekarang, ini lembaga bagus,” kata Viva.


    Viva menambahkan, jika Satgas salah mendefinisikan tugas dan fungsinya, bisa jadi nanti tidak hanya petani padi yang akan dikorbankan. Hasil pertanian lain yang prosesnya mendapat subsidi pemerintah bisa menjadi korban. ”Akan ada kriminalisasi petani padi,  tebu, kopi, kakau, dan lain-lain. Kalau semua petani disubsidi, hasilnya dijual mahal, maka semua bisa ditangkap,” tandasnya.


    Sementara itu, meski banyak kritikan, Polri tetap berkeyakinan PT IBU melakukan pelanggaran. Mereka sedang menghitung berapa harga beras yang tepat, bila tidak ada subsidi pupuk dan lainnya. Harga beras tanpa subsidi itu penting untuk menentukan apakah PT IBU ikut menikmati subsidi dari berbagai fasilitas pemerintah untuk petani.

    Tidak hanya itu, Bareskrim telah meningkatkan status kasus beras tersebut, dari penyelidikan ke penyidikan. Dengan begitu dipastikan bahwa Bareskrim telah menemukan dua alat bukti yang cukup terkait kasus tersebut. ”Salah satunya, terkait perbedaan keterangan dalam kemasan beras dengan isinya. Tentu telah dilakukan uji laboratorium terhadap beras tersebut. Ada yang berbeda antara tulisan dengan isinya,” jelas Kabareskrim Komjen Ari Dono Sukmanto.

    Dia mengatakan, walau sudah naik status ke penyidikan, namun hingga saat ini belum ada penetapan tersangka. Bareskrim masih berupaya untuk melakukan pendalaman, misalnya dengan melakukan pemeriksaan terhadap pihak PT IBU. (idr/bay/ang)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top