• Berita Terkini

    Selasa, 25 Juli 2017

    Investor Berlomba-lomba Tanamkan Modal di Solo


    SOLO – Kota Bengawan tetap menjadi candu bagi investor menanamkan modalnya di berbagai sektor. Setelah bermunculan hotel-hotel baru, kini giliran pusat perbelanjaan mengikuti jejak serupa.

    Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Surakarta Toto Amanto mengatakan, sektor investasi tetap didominasi sektor usaha besar. Namun, usaha kecil tetap berperan meskipun persentasenya tidak terlau besar. Pada bulan ini, nilai investasi mencapai Rp 523 miliar dari sebelumnya Rp 210 miliar.

    "Solo masih terbuka untuk pengusaha yang mau berinvestasi. Untuk evaluasi semester I, dari sektor sekunder, industri tektsil masih menguasai dengan nilai Rp 599 miliar dengan total proyek enam unit. Kemudian sektor tersier dipegang perdagangan dan jasa senilai Rp 856 miliar," tutur Toto kemarin (24/7).

    Diterangkannya, ketersediaan lahan yang masih memadai berada di Solo bagian utara. Sedangkan untuk pusat kota mulai terbatas. Bahkan, pemkot berencana meniadakan sawah lestari. Wacana tersebut masih menunggu hasil revisi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jateng.

    Sawah lestari akan dialihfungsikan menjadi lahan urban farming. Sehingga nantinya masih ada kontribusi pada ketahanan pangan di Kota Solo. Saat ini, keberadaan sawah lestari dinilai tidak mempunyai kontribusi dalam pertanian kota. Luas sawah lestari yang hanya tersisa sekitar 60 hektare malah terkesan mangkrak karena tidak diolah oleh pemiliknya.

    Sementara itu, salah satu lahan yang dibidik investor untuk membangun rumah sakit adalah di depan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Moewardi. "Kalau hal itu harus diukur dulu, syaratnya lokasi harus 500 meter dari pasar tradisional. Hingga saat ini masih berkomunikasi dengan pihak investor,” jelas Toto.

    Naiknya performa investasi, salah satunya dipengaruhi oleh kecerdikan pelaku usaha. Demikian dituturkan ekonom Universitas Sebelas Maret (UNS) Lukman Hakim. Menurut dia, pelaku usaha di Kota Solo mulai mengubah budayanya.

    Meskipun kecil, perubahan budaya itu mampu menambah pendapatan di perusahaan. Lukman mencontohkan, modifikasi jam kerja karyawan. Sebelumnya, jam kerja selalu monoton dari pukul 08.00 hingga 17.00. Kemudian pekerja diminta masuk dengan hitungan lembur hingga pukul 20.00.

    “Sekarang pelaku usaha tahu kapan prime time usahanya. Mereka mulai memasukkan karyawan jam 10.00 dan pulang pukul 07.00 atau 08.00. Pasar tertangkap, gaji karyawan normal, tidak pakai lembur,” beber Lukman.

    Lebih lanjut diterangkan dia, kenaikan investasi di Kota Bengawan masih didominasi sektor makro atau usaha ritel. Sebab, hanya itulah yang bisa berkembang di Kota Solo saat ini.

    “Jelas masyarakat diuntungkan. Mereka (usaha ritel,Red) mampu membuka lapangan pekerjaan yang relatif besar. Meskipun jika dilihat gajinya mungkin ada yang belum (sesuai, Red) UMK (upah minimum kabupaten/kota,Red),” paparnya.

    Investor, kata Lukman, masih memandang Solo tengah dan selatan sebagai lahan basah. Sedangkan Solo utara terasa gersang dan dinilai kurang menjanjikan. Tapi, dia yakin bila akses menuju Solo utara diperbaiki, investor juga akan melirik.

    Keyakinan tersebut didasari oleh berkembangnya beberapa industri dan ritel. Di antaranya usaha salah satu supermarket yang ramai pembeli meskipun ada di Kadipiro dan Mojosongo.

    “Mojosongo itu sekarang juga menjadi kota mandiri. Tinggal yang sekitar Banyuanyar ke arah Klodran saja belum terlalu tampak,” ucap Lukman. (gis/irw/wa)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top