• Berita Terkini

    Minggu, 30 Juli 2017

    Desain Kotak Suara Diubah Transparan, Anggaran Pilkada 2019 Membengkak

    JAKARTA– Anggaran pemilu serentak 2019 nanti dipastikan membengkak. Sebab, desain regulasinya sendiri sudah tidak effisien. Selain pembiayaan alat peraga kampanye dan pelatihan saksi partai yang dibiayai negara, kotak suara pun dipastikan harus melakukan pengadaan baru.


    Ketentuan tersebut, sebagaimana penjelasan pasal 341 ayat 1 huruf A UU Pemilu. Di situ disebutkan, bahwa kotak suara harus bersifat transparan, sehingga bisa terlihat dari luar. Hal itu, tentunya berbeda dengan yang digunakan selama ini. Sebelumnya, kotak suara berbahan alumunium, ataupun karton kedap air.


    Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, pihaknya cukup terkejut dengan adanya perubahan tersebut. Sebab, selama pembahasan UU Pemilu lalu, jajarannya tidak pernah diajak bicara menyangkut hal tersebut. “KPU kalau diundang terkait pemungutan suara, cara menghitung, cara merekap, dapil. Itu pokoknya,” ujarnya di Kantor KPU RI, Jakarta, kemarin (28/7).


    Arief menjelaskan, sebetulnya, kotak suara yang ada saat ini masih bisa digunakan. Meski ada sebagian yang rusak, namun tidak sedikit juga yang masih berfungsi baik. Jumlahnya sekitar 1,8 juta kotak suara. “Tapi karena bunyi undang-undangnya seperti itu ya kita siapkan (yang baru),” imbuhnya.


    Oleh karena itu, pengadaan kotak suara dengan desain baru dipastikan tidak bisa dihindari. Pria asal Surabaya itu mengaku belum menghitung berapa jumlah anggaran dan bagaimana desain yang dikeluarkan untuk kebutuhan tersebut. Namun dia memastikan, akan berupaya mendesain seefisien mungkin.


    “Effisien itu artinya bisa digunakan untuk selanjutnya. Distribusi tidak sulit, tidak berat,” kata mantan Ketua KPU Jawa Timur tersebut.


    Berdasarkan hitungan yang dilakukan Jawa Pos, jumlah Kotak Suara yang akan diproduksi untuk 2019 nanti bisa mencapai 3 jutaan buah. Hal itu merujuk jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang diprediksi mencapai 600 ribuan TPS. Di mana masing-masing TPS memasang lima kotak suara. Yakni Kotak suara DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/kota, DPD, dan Pilpres.


    Nah, jika setiap satuan kotak suara dihargai Rp. 100 ribu rupiah, maka dibutuhkan sekitar Rp. 300 miliar untuk mengadakan 3 jutaan kotak suara. Sementara nasib dari 1,8 juta kotak suara yang ada saat ini, dipastikan menjadi barang rongsok.


    Apakah kotak suara baru bisa meminimalisir kecurangan? Arief menilai, sebetulnya tidak terlalu berdampak jauh. Sebab, selama ini, semua orang bisa melihat kotak suara tersebut selama di TPS. Dalam proses distibusi dan rekapitulasi pun sudah ada petugas pengawas dan aparat keamanan.


    Saat dikonfirmasi, mantan Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy mengatakan, kotak suara baru dibutuhkan sebagai peningkatan kualitas pemilu. Selain banyak yang rusak, dia menilai desain transparan lebih memudahkan dalam proses pengawasan.


    “Negara seperti Nepal saja sudah transparan (kotak suaranya),” ujarnya kepada Jawa Pos.


    Disinggung soal aspek effisiensinya, Lukman menilai itu bukan menjadi urusannya. Sebagai pembentuk UU, pihaknya hanya menghendaki desain yang bisa menciptakan pemilu yang baik. “Kita ga menghitung ke sana. Kita ga tahu, KPU yang tahu. Mau kaca, plastic terserah saja,” imbuhnya.


    Pria yang juga wakil ketua Komisi II itu mengakui, selama pembahasan tidak pernah mengajak penyelenggara untuk terlibat membicarakan hal itu. Menurutnya, itu tidak masalah. Sebab, pembentukan undang-undang merupakan kewajiban antara DPR dan pemerintah. Sementara KPU merupakan pelaksana UU.


    Dalam kesempatan tersebut, politisi PKB itu juga menegaskan tidak ada unsur “menyelundupkan” pasal dalam norma tersebut. Sebab, norma tersebut sudah disepakati antara semua fraksi dan pemerintah.


    Sementara itu, Deputi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati mempertanyakan sikap pansus yang tidak membuka pasal tersebut kepada publik. Akibatnya, hal itu menciptakan kecurigaan adanya politik transaksional.


    “Selama pembahasan, tidak muncul sedikitpun isu ini ke publik,” ujarnya kepada Jawa Pos.


    Selain itu, Nisa menilai norma tersebut terkesan tidak memiliki semangat menciptakan pemilu yang murah dan effisien. “Kalau ada yang rusak, cukup menambah sesuai kebutuhan saja,” imbuhnya.


    Apalagi, desain transparan kotak suara relatif tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan berkurangnya kecurangan. Sebab, bagaimanapun desainnya, selama ada niat dan pengawasan gak maksimal, maka kecurangan tetap terjadi. (far)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top