• Berita Terkini

    Rabu, 26 Juli 2017

    AISA Tak Terima Tudingan Beras Oplosan

    JAKARTA - Manajemen PT Tiga Pilar Sejahrera Food Tbk (AISA) kemarin (25/7) akhirnya memenuhi permintaan Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk melakukan public expose insidentil. Dalam paparannya, pihak perseroan membantah tuduhan soal oplosan beras palsu yang dialamatkan kepada cucu usahanya, PT Indo Beras Unggul (IBU). Manajemen mengaku tidak melakukan kesalahan, baik soal produksi, penetapan harga maupun pemberian keterangan nilai gizi.


    Direktur AISA Jo Tjong Seng membeberkan, perseroan menjual beras merek Maknyuss dan Ayam Jago sesuai mekanisme pasar. Gabah kering panen (GKP) yang digunakan memang dibeli seharga Rp 4.900 untuk beras Maknyuss, atau di atas harga pembelian pemerintah (HPP) yakni Rp 3.700. Sementara untuk beras Ayam Jago, harga pembelian gabahnya lebih mahal Rp 2.000 dibanding harga gabah untuk beras Maknyuss. Setiap 1 kilogram (kg) gabah kira-kira mengandung air sekitar 32-50 persen. "Sehingga jika dibulatkan, rata-rata 1 kg gabah bisa menghasilkan 500 gram beras," ujarnya.


    Perseroan kemudian melakukan penjualan kepada distributor dengan harga Rp 11.600 per kg untuk wilayah Jawa dan Rp 12.200 per kg untuk luar Jawa. Haga jual konsumen di pasar tradisional maupun supermarket rata-rata sebesar Rp 13.700 per kg untuk beras Maknyuss dan Rp 20.400 per kg untuk beras Ayam Jago. "Kami beli jenis IR64. Kalau kemudian harganya mahal itu karena proses penggilingan yang baik, jadi kepala berasnya masih utuh, sampai 95 persen. Berasnya juga putih dan kandungan airnya sedikit sehingga bisa lebih mahal," lanjut Jo Tjong Seng.


    Dia menjelaskan, perusahaan rela membayar gabah lebih mahal untuk menguntungkan petani. Menurutnya, tidak benar jika petani harus ditekan dengan harga beli gabah yang selalu sesuai HPP, karena petani bakal kehilangan kesempatan untuk mendapatkan untung lebih. Petani juga bebas melakukan penjualan gabah, apakah berdasarkan HPP atau harga yang ditentukan mekanisme pasar.


    Meski begitu, Jo Tjong Seng tidak terima jika PT IBU disebut melakukan monopoli maupun oligopoly. Sebab daya serap penggilingan milik PT IBU tidak lebih dari 8 persen terhadap total potensi GKP yang ada di daerah Bekasi,  Subang dan Banten. Pangsa pasar (market share) beras produksi PT IBU juga tidak lebih dari 1 persen terhadap total konsumsi beras nasional yang mencapai 3 juta ton per hari, sehingga pengaruhya tidak besar.


    Namun soal harga jual beras PT IBU yang melebihi harga eceran tertinggi, Jo Tjong Seng mengaku butuh pembahasan lebih lanjut mengenai hal tersebut. Dia mengaku harga jual beras Maknyuss yang sebesar Rp 13.700 per kg dan beras Ayam Jago Rp 20.400 per kg memang lebih tinggi dari HET. Dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 47/M-DAG/PER/7/2017 tentang penetapan harga acuan, disebutkan bahwa HET beras premium sebesar Rp 9.000. “Butuh diskusi lebih lanjut antara pemerintah, pelaku usaha, petani dan konsumen soal HET ini. Ini memang tidak mudah karena saya kira butuh pertimbangan agar semua pihak sama-sama untung dan merasakan manfaat dari HET,” ujarnya.


    Soal kualitas, Jo Tjong Seng memastikan harga jual di pasaran sudah sesuai harga beras premium pada umumnya. Sebab PT IBU memproses gabah berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI), sehingga kepala beras utuh dan beras yang dihasilkan berwarna putih bersih tanpa terselip batu kerikil. “Jadi soal kualitas, pada dasarnya semua beras itu sama pakai IR 64. Kualitas itu ditentukan pada saat pemrosesan, bukan pada varietas gabahnya, karena kandungan gizinya sama. Semua tergantung bagaimana penggilingannya,” paparnya.


    Selain itu, Jo Tjong Seng juga membantah pencantuman kandungan nilai gizi yang tidak sesuai. Label yang ada pada kemasan beras produksi PT IBU mencantumkan kandungan karbohidrat 74 persen. Sementara berdasar data Satgas Pangan, setelah diteliti rupanya kandungan karbohidratnya lebih tinggi yakni 81,45 persen. Namun sebetulnya, angka karbohidrat 74-81,5 persen itu mencakup 25 persen Angka Kebutuhan Gizi (AKG) harian. AKG 25 persen sudah sesuai dengan yang tertera di kemasan beras, yakni 25 persen.


    Presiden Direktur AISA Stefanus Joko Mogoginta mengatakan, pihaknya berharap public dan pemerintah menerima  penjelasan tersebut. Dia juga berharap agar kepercayaan konsumen dan kinerja  perseroan bisa lebih baik dan tidak terpengaruh adanya tuduhan beras oplosan. “Gudang beras di Bekasi yang isinya 1.161 ton beras itu merupakan stok kami untuk penjualan seminggu ke depan, jadi bukan rastra (bera sejahtera, Red) yang diselundupkan. Gudangnya hanya dikasih police line saja. Aktivitas produksi masih berjalan seperti biasa,” tutur Stefanus.

    Sementara itu, saham AISA kemarin masih terkoreksi 70 poin atau 5,58 persen ke level Rp 1.185 per unit. Analis Binaartha Sekuritas Reza Priyambada menuturkan, laporan keuangan AISA masih berpotensi mencatat kinerja positif. Dengan adanya public expose yang digelar AISA, memperbaiki citra perusahaan dan mencari peluang baru untuk model bisnisnya. Misalnya, bekerja sama dengan perusahaan ritel untuk memproduksi beras dengan merek yang baru. “Contohnya, AISA bisa memproduksi beras Ramos untuk Alfamart atau Rojolele untuk Indomaret. Sehingga nama AISA dan PT IBU tidak terlalu kentara,” urainya. (rin)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top