• Berita Terkini

    Kamis, 29 Juni 2017

    Tahap Akhir Persidangan e KTP Jadi Pertaruhan KPK

    JAKARTA – Sidang kasus kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang sudah memasuki tahap akhir di pengadilan menjadi pertaruhan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab, banyak nama-nama yang sudah terlanjur disebut dan diduga terlibat dalam korupsi berjamaah yang merugikan negara Rp 2,3 triliun tersebut. Terutama dari kalangan legislatif.


    Pakar hukum pidana Firman Wijaya mengatakan, nama-nama yang disebut sudah menjadi bahan perbincangan di masyarakat umum (name makes news). Karena itu, KPK mesti membuktikan secara hukum bahwa mereka betul-betul terlibat. Setidaknya, menjadikan mereka sebagai tersangka. ”Kalau nama sudah disebut, itu implikasinya luar biasa,” terangnya kepada Jawa Pos, kemarin (28/6).


    Sidang e-KTP akan kembali digelar Senin (10/7) pekan kedua bulan mendatang. Majelis hakim mengagendakan pembacaan nota pembelaan (pledoi) dua terdakwa e-KTP, Irman (mantan Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri) dan anak buahnya Sugiharto (mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan).


    Dalam tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang dibacakan Kamis (22/6) pekan lalu, muncul dalil yang menyebut sejumlah nama turut serta melakukan perbuatan korupsi bersama dengan terdakwa. Salah satunya, Ketua DPR Setya Novanto. Ketua Umum Partai Golkar itu didalilkan oleh jaksa masuk dalam pasal 55 KUHP tentang penyertaan.


    Firman berharap penyebutan nama itu tidak hanya sekadar name makes news. KPK mesti mencari pembuktian dari penyebutan tersebut. Bila tidak, dikhawatirkan akan berdampak pada terjadinya penyesatan (misleading) pola pikir masyarakat tentang hukum, khususnya pidana korupsi. ”Kalau itu terjadi sulit memulihkanya. Rehabilitasi hal semacam itu tidak ada sampai saat ini,” ucapnya.


    Jaksa KPK, kata dia, secara teknis sebenarnya tidak perlu menyebutkan nama yang belum bisa dipastikan turut melakukan korupsi. Dalam konteks penguraian, komisi antirasuah bisa membagi proses ke dalam kualifikasi tertentu. ”Harus di-split untuk memastikan pelaku dulu dengan yang saksi, kualifikasi pelaku boleh di-judgment,” imbuh akademisi Universitas Krisnadwipayana Jakarta itu.


    Ketua Asosiasi Pakar Hukum Pidana KUHP dan KUHAP Andi Hamzah menyatakan, nama yang masuk dalam pasal 55 itu mesti diadili setelah keluarnya putusan hakim berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sebab, konstruksi pasal tersebut ingin menunjukan bahwa suatu perbuatan melawan hukum dilakukan secara bersama, bukan satu orang. ”Yang turut serta itu yang diadili,” tuturnya. (tyo)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top