• Berita Terkini

    Rabu, 10 Mei 2017

    Takut Pelajaran, Siswa SMK di Sragen Coba Bunuh Diri di Sekolah

    AHMAD KHAIRUDIN/RADAR SOLO
    SRAGEN – Kesulitan memahami mata pelajaran, tapi dipendam sendiri, dampaknya sangat serius. Itu terjadi di SMK Sakti Gemolong. WS, 18, murid sekolah setempat berbuat nekat.

    Bel tanda istirahat pertama telah usai, baru saja dibunyikan. Murid-murid kembali masuk ke dalam kelas untuk mengikuti mata pelajaran lanjutan. Namun, konsentrasi mereka langsung buyar karena mendengar teriakan histeris disusul pemandangan tragis. WS tergeletak di lapangan sekolah dengan hidung dan mulut mengeluarkan darah.

    Pertolongan pertama segera diberikan. Setelah dicek, bukan hanya hidung dan mulut mengeluarkan darah. Tapi, tulang kaki kanan murid kelas XI itu juga patah. Yang cukup melegakan, WS masih dalam kondisi sadar.

    Sejumlah saksi mata menuturkan, luka-luka pada tubuh WS tersebut karena dia nekat meloncat dari lantai tiga gedung SMK Sakti Gemolong setinggi lebih dari tujuh meter sekitar pukul 09.30. Warga Desa Hadiluwih, Kecamatan Sumberlawang itu segera dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Moewardi untuk mendapatkan perawatan intensif. Peristiwa itu kemudian dilaporkan ke Polres Sragen.

    Hasil penyelidikan sementara polisi, WS diduga mengalami depresi karena kesulitan memahami materi pelajaran Bahasa Inggris. Dugaan tersebut diperkuat dengan ditemukannya buku catatan pribadi WS yang isinya soal kesulitannya dalam pelajaran Bahasa Inggris.

    Kasubag Humas Polres Sragen AKP Saptiwi mewakili Kapolres Sragen AKBP Cahyo Widiarso menjelaskan, olah tempat kejadian perkara (TKP) dilakukan oleh anggota Polsek Gemolong dipimpin Kapolsek Gemolong AKP Supadi.

    ”Jarak antara lantai (tiga,Red) sampai tanah sekitar 7,7 meter. Diduga korban mengalami depresi soal pelajarannya. Kondisinya patah kaki kanan dan  dirujuk ke RSUD Dr. Moewardi,” terangnya.

    Tidak hanya meminta keterangan murid dan guru  sekolah setempat, polisi juga memeriksa tas WS dan menemukan pisau dapur, serta vapour alias rokok elektrik.
    Koordinator Praktik Kerja Industri (Prakerin) SMK Sakti Gemolong Teguh belum bisa menjelaskan secara detail kronologis tersebut karena dirinya berada di luar kota. “Sekarang (kemarin,Red) di Semarang,” ujarnya.

    Terpisah, Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) Sragen Wakid Daryanto mengatakan, belum menerima informasi secara mendetail kronologis kejadian. Tapi, dia meragukan jika penyebab WS nekat loncat dari lantai tiga gedung sekolahnya akibat beratnya beban mata pelajaran Bahasa Inggris.

    Sebab, kurikulum yang diterapkan di semua sekolah dilakukan secara merata dan selama ini tidak ada keluhan.”Kalau beban (mata pelajaran, Red) satu minggu 48 jam itu, ya biasa. Jadi bukan itu (penyebab WS loncat dari gedung, Red). Kalau itu, seluruh murid SMK keberatan semua. Tidak bisa digeneralisir,” ujarnya.

    Kepala Balai Pengendali Pendidikan Menengah dan Khusus (BP2MK) wilayah Eks Karisidenan Surakarta Kartono berjanji segera mendalami kejadian di SMK Sakti Gemolong tersebut.

    Sementara itu, kasus suicide temptation atau percobaan bunuh diri tidak semata-mata terjadi akibat masalah di permukaan. Sebagian besar kasus ada faktor lain. Diantaranya rentetan masalah yang dialami.

    “Laki-laki lebih banyak memendam masalah. Mereka jarang curhat untuk meredam emosinya. Dan secara budaya, image laki-laki menangis dianggap cengeng,” beber psikolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Laelatus Agustina.

    Apapun alasannya, lanjut Latus, sapaan akrabnya, orang yang sudah punya niat bunuh diri perlu dibantu dan mendapatkan perhatian ekstra. Karena tidak ada ciri-ciri khusus yang ditunjukkan. Meski di beberapa kasus ada yang memberikan tanda.

    “Kita nggak bisa meremehkan kalau ada orang yang bilang mau bunuh diri. Ketika sudah ada niat, orang itu harus ditemani. Tidak boleh sendiri. Dukungan orang-orang terdekat sangat dibutuhkan. Memberikan motivasi bahwa keberadaannya di dunia masih diperlukan,” urainya.

    Menyikapi kasus di SMK Sakti Gemolong, Latus mewanti-wanti pihak sekolah menjaga murid lainnya. Karena bunuh diri bersifat menular dan bisa terjadi karena terinspirasi. Sekolah bisa membentuk konselor sebaya sebagai bentuk upaya pencegahan kasus serupa.

    Konselor sebaya bisa dibentuk dari perwakilan tiap kelas yang dianggap bisa membaur di berbagai kalangan murid. Melalui konselor tersebut, murid diberi pelatihan berkemampuan mendengar dan memahami aktif.

    “Kadang orang yang bisa membantu adalah orang yang sama-sama dari kalangannya. Remaja memang perlu orang dewasa untuk memberi nasihat. Tapi, mereka akan banyak curhat ke sesama teman sebayanya. Paling tidak, ada orang yang mampu mendengarkan masalahnya,” tandas Latus.

    Lebih lanjut ditekankan dia, kasus tersebut juga menjadi peringatan bagi sekolah lain. Artinya, sekolah perlu mengembangkan potensi murid di luar mata pelajaran. Karena sebenarnya ada banyak potensi pelajar yang perlu dan dikembangkan dengan baik. (din/aya/wa)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top