• Berita Terkini

    Selasa, 02 Mei 2017

    Masih Banyak Buruh Tak Berserikat

    JAKARTA – Hari buruh dunia yang jatuh kemarin (1/5) Diperingati dengan aksi unjuk rasa besar-besaran di hampir semua ruas jalan.  Sementara Panggung Hiburan Buruh yang didirikan oleh Kementerian Ketenaga Kerjaan (Kemenaker) di komplek Gelora Bung Karno, Senayan, Sepi.


    Aksi dipusatkan di beberapa titik, diantaranya di Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Selatan, Utara, serta di depan Istana Negara.


    Sementara itu, Panggung Hiburan Buruh di kompleks GBK tampak hanya dihadiri oleh beberapa puluh orang saja. Dalam kegiatan tersebut, menaker bersama beberapa perwakilan federasi pekerja melakukan berbagai kegiatan berolahraga bersama.


    Menteri Ketenaga Kerjaan (Menaker) Hanif Dhakiri menyampaikan bahwa hari buruh seharusnya dijadikan momentum kemenangan. Jika dibandingkan dengan awal peristiwa buruh pada Abad ke-18 lalu, nasib buruh hari ini jauh lebih baik. “Kalau masih ada cita-cita yang belum tercapai, perjuangan harus diteruskan,” katanya.


    Selain itu, gerakan buruh harus kembali di-refleksikan. Menurut Hanif, ada beberapa indikator yang menunjukkan bahwa gerakan buruh saat ini kurang berhasil dalam mewujudkan cita-citanya. Pertama adalah jumlah buruh yang berserikat serta jumlah serikat buruh yang menujukkan tren penurunan.


    Sebelum reformasi, jumlah buruh berserikat di Indonesia tercatat 3,4 Juta orang. Kemudian meningkat menjadi 8,9 juta pada masal awal reformasi. Saat ini, jumlah buruh berserikat sudah turun drastic ke angka 2,9 juta orang.


    Demikian juga dengan jumlah serikat buruh di perusahaan. Berdasarkan catatan kemenaker, baru terdaftar 7 ribu serikat buruh di 7 ribu perusahaan. Sementara jumlah perusahaan yang terekam membayar pajak saja, jumlahnya tidak kurang dari 368 ribu perusahaan. “Berarti yang 361 ribu sisanya kosong tak ada serikat buruhnya,” kata Hanif.


    Dengan menurunnya parisipasi buruh ini, menurut Hanif, baik pemerintah maupun serikat-serikat buruh harus sama-sama introspeksi diri.  “Demo itu dilakukan untuk kepentingan-kepentingan tertentu, sekarang pendekatannnya harus beda, lebih kreatif dan inovatif,” kata Hanif.


    Sementara itu, tuntutan utama kaum buruh tetap merujuk pada akronim Hosjatum, yang berarti Hapus Outsourcing, Jaminan Sosial, dan Tolak Upah Murah. Selain itu, para buruh juga menuntut agar PP nomor 78 tahun 2015 tentang pengupahan dievaluasi kalau memungkinkan dicabut. “Disitu hak perundingan buruh ditiadakan,” kata Saiq Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI)


    Sistem upah minimum yang ada saat ini, kata Iqbal, malah dimanfaatkan oleh kalangan pengusaha. Mereka menganggap dengan membayar upah minimum tersebut, berarti sudah menuntaskan kewajibannya pada kaum buruh. Berapa lama pun si buruh bekerja. “Upah minimum-nya jadi upah maksimum, bukan jarring pengaman lagi,” kata Iqbal.


    Saat ini, Iqbal menyebut bahwa di seluruh Indonesia, 42 juta buruh masih menerima gaji di bawah 2 juta rupiah. Sementara yang menerima gaji diatas jumlah tersebut baru 15 juta orang.


    Selain itu, banyak persoalan lain yang mesti diselesaikan oleh pemerintah seperti masih maraknya tenaga outsourcing yang bekerja di core bussines perusahaan. Serta sistem permagangan yang dianggap sebagai praktek melanggar hak-hak buruh. “Mereka (tenaga magang,Red) bahkan tidak jelas punya hubungan kerja atau tidak,”pungkas Iqbal.(tau)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top