• Berita Terkini

    Kamis, 06 April 2017

    Nikah Anak Bukan Takdir, Harus Dilawan

    Maraknya kasus pernikahan anak di Indonesia adalah miskonsepsi yang terpendam di masyarakat. Sebagian masyarakat punya acuan bahwa anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 13 tahun. Pemahaman yang salah itu harus dilawan. Jangan dibiarkan, lalu pasrah dengan menganggapnya sebagai takdir.


    ”Kalau bicara kasus pernikahan pada usia anak, banyak yang menyangka usianya 11 atau 13 tahun. Tapi, saat kami sebut usianya 17 tahun, mereka malah marah,” kata Adolescent Officer Unicef Indonesia Anissa Elok Budiyani. ”Itu hanya salah satu dari daftar panjang miskonsepsi yang terpendam di masyarakat Indonesia,” lanjutnya.

    Hal tersebut semakin parah seiring dengan berjalannya zaman. Paham-paham modernitas yang membawa pengaruh negatif disandingkan dengan norma-norma kebiasaan lama yang tidak baik. Pergaulan muda-mudi semakin bebas. Adakalanya orang tua mau gampangnya, nikahkan saja anak perempuannya daripada sulit mengawasi.


    Kondisi seperti itu membuat semakin banyak anak yang terseret dalam janji pernikahan. Dalam kondisi seperti itu, perempuan mendapat posisi yang lebih buruk daripada laki-laki.


    Bahwa ada orang yang memiliki motivasi menikahkan anak perempuannya untuk mengurangi beban hidup, dalam banyak kasus itu tidak tercapai. Ambil saja contoh DS, 20, yang tinggal di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung. Memiliki suami (K), bukannya dinafkahi, DS malah harus menjadi tulang punggung keluarga.


    K, 22, sebenarnya hanya kenalan DS yang suatu saat pernah menumpang berteduh karena hujan deras. Dari sana desas-desus mulai muncul bahwa DS menjalin hubungan dengan K hingga hamil di luar nikah. ”Padahal, saya sudah punya pacar orang Kalimantan. Bukan dia,” ucapnya.


    DS yang ketika itu masih 16 tahun sebenarnya tak ingin menganggap serius gosip tersebut. Apalagi, dia saat itu tinggal di Jakarta dan bekerja di warung makan milik tantenya. Namun, bara malah menjadi api. Sampai-sampai DS dan sang ibu datang ke dokter kandungan untuk mengecek kehamilannya.


    ”Semua tes hasilnya negatif. Tapi, omongan tetangga masih saja. Sampai bilang kalau saya buat desa ini kotor,” kata perempuan yang kini sudah enam bulan bercerai itu.

    DS mengungkapkan bahwa dirinya bukanlah orang yang punya pikiran untuk menikah muda. Namun, karena tekanan sosial, dia akhirnya memutuskan untuk menjadi istri K saat dilamar. Dari sana kehidupan DS mulai terjun bebas.


    ”Saya tidak boleh keluar atau ke rumah, sedangkan mantan suami keluyuran dengan perempuan lain. Pernah dia sempat menganggur empat bulan. Saya harus kerja di pabrik tekstil untuk bayar utangnya,” papar DS.


    Di antara semua kesusahan tersebut, DS tetap diperlakukan buruk oleh suami. Kata-kata kasar sering muncul saat cekcok di rumah tangga. Sang suami pun selalu menyalahkan istri atas semua permasalahan yang ada. Akhirnya, setelah dua tahun menikah, DS tak kuat lagi dan kembali ke rumah orang tua pada Idul Adha tahun lalu. ”Saat cerai, saya minta motor yang cicilannya saya lunasin aja nggak mau. Katanya, saya nggak bisa cari uang buat suami,” ungkapnya.


    Setelah membulatkan tekad, DS juga masih saja menjadi bahan olok-olok tetangga sekitar. Dia diberi gelar janda kecil pada usianya yang 20 tahun sampai jarang mau keluar rumah. ”Kebetulan, ibu memang lagi sakit kanker rahim. Jadi, saya berhenti kerja dan di rumah saja. Baru-baru ini akhirnya sedikit berani keluar rumah.”

    DS menjadi kasus nyata bagaimana lingkungan berperan dalam membentuk pengantin-pengantin usia anak. Baik secara sadar maupun tak sadar. Di wilayah Kabupaten Bandung, banyak perempuan yang justru jadi tulang punggung keluarga karena industri tekstil yang lebih banyak mempekerjakan mereka. Alasannya, pekerja perempuan lebih telaten dan tidak gampang mengeluh.


    Sementara itu, laki-laki di wilayah tersebut lebih memilih bekerja serabutan. Bekerja di proyek bangunan, menjadi sopir, atau menjaga toko. Namun, status suami sebagai raja di keluarga tak berubah sehingga membuat beban istri lebih berat.


    Anissa melihat banyak faktor penyebab pernikahan usia anak. Mulai akses pendidikan, pengawasan administrasi perkawinan, hingga kampanye dari tokoh masyarakat. ”Masa remaja ini adalah masa di mana mereka sedang belajar empati sosial. Mereka pasti mencari role model (panutan, Red). Jika role model mereka adalah ibu atau kakak yang menikah muda, tentu mereka secara tak sadar menggambar jalur itu dan memanggilnya takdir,” terangnya.


    Karena itu, remaja perlu diberi pemahaman bahwa realitas tak harus berjalan seperti yang ada di sekitarnya. Hal tersebut bisa dilakukan jika ada kelompok masyarakat yang aktif dalam memberikan edukasi dan sosialisasi kepada remaja. ”Seharusnya ada juga pemahaman ke orang tua tentang manfaat yang bisa didapat jika mereka tidak menikahkan putri mereka terlalu muda,” ucapnya.


    Fasilitator Sapa Institut Nonok Farida mengatakan, pihaknya pun berusaha mengubah norma masyarakat terkait pernikahan usia anak-anak. Salah satunya dengan membuat komunitas balai istri di beberapa desa. ”Kalau dari luar mungkin tidak akan efektif. Tapi, kalau masyarakat di sana saling berbagi dan menguatkan, itu lebih baik,” tuturnya.


    Komisioner Komnas Perempuan Sri Nurherwati pun menegaskan bahwa praktik perkawinan anak termasuk bentuk kekerasan seksual. Hal tersebut sudah tertera jelas dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. ”Argumen perkawinan anak hanya karena khawatir anak melakukan hubungan seksual berarti orang tua menghindari tanggung jawab,” cetusnya. (bil/c9/ang)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top