• Berita Terkini

    Jumat, 07 April 2017

    Korupsi Dana Desa Semakin Berbahaya

    JAKARTA – Potensi penyelewengan dana desa semakin terlihat di kalangan publik. Hal tersebut terlihat dalam kasus korupsi terkait dana desa yang mencapai 62 kasus tahun lalu. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) pun diminta untuk membangun sistem pengawasan yang efektif mencegah penyelewengan terjadi.



                Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo, nilai alokasi dana desa yang makin besar semakin membawa ancaman penyelewengan Dengan alokasi yang mencapai Rp 628 juta per desa tahun lalu, pihaknya sudah mencatat ada 62 kasus korupsi.


                ’’Di catatan kami, kategori ini terbanyak ketiga setelah kasus di pemerintah kabupaten dan pemerintah kota. Meski secara nilai mereka masih mencapai Rp 18 miliar. Kecil dibanding kerugian negara pemerintah kabupaten yang mencapai 476 miliar untuk 219 kasus,’’ ujarnya dalam diskusi Membangun Desa Bebas Korupsi di Kantor Lembaga Administrasi Negara (LAN), Jakarta, kemarin (6/4).


                Namun, ancaman tersebut terbukti bisa berakibat fatal. Terutama saat perkiraan bahwa alokasi dana desa bakal meningkat mencapai Rp 1,2 miliar per desa pada 2018 nanti. Angka sebesar itu pasti menarik banyak oknum untuk bermain nakal. Apalagi, desa kebanyakan tidak mempunyai masyarakat kritis dan struktur pengawsan yang baik.


                ’’Kalau dilihat dari aspek pelaku, mungkin hanya 62 orang yang masuk kategori masyarakat atau kepala desa. Tapi, jangan lupa bahwa pihak swasta bisa saja ikut bermain dengan kepala desa untuk mendapatakan keuntungan dari anggaran tersebut,’’ ungkapnya.


                Keterlibatan pihak swasta dalam korupsi dana desa bisa jadi memberikan dampak yang buruk. Pasalnya, selama ini modus korupsi tingkat desa masih terbilang mudah dilacak. Misalnya, kasus Kepala Desa Sukaresmi, Sukabumi, yang menggunakan dana pembangunan desa untuk membeli kendaraan dan lapangan futsal prbadi.


                ’’Selama ini kalau diaudit sudah pasti ketahuan. Tapi, kalau swasta terlibat bisa berbahaya karena mereka akan menggunakan cara yang lebih tersembunyi,’’ jelasnya.


                Karena itu, Adnan menuntut agar pemerintah terutama Kemendes PDTT bisa mendorong factor pengawasan dari implementasi dana desa. Salah satu faktor kunci adalah kesadaran masyarakat lokal dan pemerintah daerah.


                ’’Kalau dari pemerintah pusat saja, sudah pasti sudah mengawasi hal ini. Karena ada puluhan ribu desa yang harus diawasi,’’ ungkapnya.


                Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jenderal Kemendes PDTT Anwar Sanusi mengungkapkan, pihaknya juga khawatir soal perpindahan tren korupsi hingga ke level desa. Tahun lalu saja, dia bersama KPK menerima sekitar 932 aduan terkait dugaan penyalahgunaan dana desa.


                ’’Ada yang dana desa digunakan untuk membangun lapangan tembak. Ada yang untuk membangun pagar kantor desa. Padahal sudah jelas apa fungsi dari dana desa,’’ ujarnya.


                Karena itu, dia mengaku ingin melakukan kerjasama dengan berbagai pihak untuk melakukan pengawasan terhadap penyaluran dana desa. Misalnya, aplikasi Jaga Desa yang dibuat melalui kerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia juga menyatakan bahwa Kemendes terus melakukan sosialisasi terkait penggunaan dana desa yang benar.


                ’’Kami sadar bahwa banyak SDM pejabat di desa yang belum mengerti benar fungsi dari dana desa. Karena itu, kami terus jelaskan apa saja yang dilarang,’’ terangnya. (bil)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top