• Berita Terkini

    Selasa, 11 April 2017

    Kakak Andi Narogong Ungkap Tim Fatmawati

    ILUSTRASI
    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berupaya membuktikan indikasi penyimpangan proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Salah satunya dengan menggali kesaksian Dedi Prijono, kakak kandung aktor utama mega korupsi e-KTP Andi Agustinus alias Andi Narogong di sidang lanjutan, kemarin (10/4).



    Kesaksian Dedi menguatkan bila Andi merupakan otak proyek yang merugikan keuangan negara Rp 2,3 triliun tersebut. Itu dibuktikan dengan pengakuan Dedi tentang adanya pertemuan di Ruko Fatmawati yang dihadiri petinggi perusahaan yang tergabung di konsorsium Percetakan Negara RI (PNRI) serta dua konsorsium pesaing lain. Yakni Murakabi Sejahtera dan Astagraphia.


    Pertemuan yang digelar 2010 atau jauh sebelum lelang e-KTP dimulai pada 2011 itu disinyalir menjadi cikal bakal munculnya kesepakatan bila konsorsium PNRI menjadi pemenang tender proyek e-KTP senilai Rp 5,9 triliun. Pertemuan itu juga ditengarai sebagai awal mula pembentukan konsorsium Murakabi dan Astagraphia untuk mendominasi peserta lelang e-KTP.


    Dedi mengungkapkan, pada pertemuan tersebut konsorsium PNRI diwakili Isnu Edhi Wijaya, Direktur Utama (Dirut) PNRI saat itu. Ada pula pimpinan perusahaan anggota konsorsium PNRI Dirut PT Sandipala Arthaputra Paulus Tanos. Sedangkan konsorsium Murakabi diwakili Johanes Richard Tanjaya, Direktur PT Java Trade Utama. Ada pula anggota tim Fatmawati lain, yakni Bobby.


    Jaksa KPK Abdul Basir pun meminta Dedi untuk menjelaskan pertemuan misterius antara petinggi konsorsium PNRI, Murakabi dan Astagraphia di Ruko Fatmawati, Jakarta Selatan, itu. Sayang, Dedi yang saat pertemuan itu mengaku hanya sebatas mewakili Andi memilih menggunakan jurus mengelak.


    ”Beliau (yang hadir di Ruko Fatmawati) kan dulu sudah ikut uji petik (di Kemendagri), (saya ingin tahu) apa yang bakal dipakai, apa speksifikasinya. Bahasannya proyek (e-KTP) kapan, kita gak tahu,” kelit Dedi menjawab pertanyaan Basir. Tentu, jawaban Dedi yang terkesan menyembunyikan fakta itu membuat jaksa KPK geregetan.


    ”Terus kenapa Andi menyuruh saudara (hadir di Ruko Fatmawati)?” tanya Basir. ”Gak biasanya juga hadir. Dikasih tahu suruh (Andi) ikut saja,” jawab Dedi. Basir mempertegas keikutsertaan Dedi di pertemuan itu dengan mempertanyakan alasan yang lebih konkret. ”Kalau mewakili enggak jelas seperti itu ngapain?” ujar Basir geregetan. ”Biar dapat proyek (dari PNRI) pak,” kata Dedi.


    Pernyataan Dedi yang berharap diberi proyek oleh PNRI itu menjadi celah jaksa untuk menggali lebih dalam peran Andi. Dedi lantas mengaku bila adiknya memang ingin menjadi bagian konsorsium PNRI. Yakni, menjadi sub kontrak proyek e-KTP. ”Adik saya itu sebelum lelang (bertemu konsorsium PNRI), tapi setelah menang lelang adik saya disuruh (Isnu Edhi) investasi mesin,” terang Dedi.


    Tentu saja, kesaksian Dedi belum memuaskan jaksa. Sebab, secara logika, bila Andi menginginkan proyek dari PNRI, mestinya pihak Andi yang mendatangi PNRI. Bukan justru Andi yang memfasilitasi pertemuan PNRI dengan konsorsium lain di Ruko Fatmawati. ”Di BAP (berita acara pemeriksaan), anda menjelaskan proyek e-KTP milik Andi,” ungkap Basir. ”Tidak pernah pak,” kilah Dedi.


    KPK juga menghadirkan 7 saksi lain. Diantaranya, Sambas Maulana (pensiunan pejabat Kementerian Keuangan), F.X Garmaya Sabarling (Kementerian Dalam Negeri), Meidy Layooari (pegawai Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), Setya Budi Arijanta (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) dan Kristian Ibrahim Moekmin, mantan anggota tim teknis proyek e-KTP yang kini bertugas di Kementerian Luar Negeri (Kemlu).


    Sedangkan 2 lainnya merupakan unsur kelompok swasta. Yaitu Presiden Direktur PT Avidisc Crestec Interindo Wirawan Tanzil serta Business Development Manager PT Hewlett Packard Indonesia Berman Jandry S. Hutasoit. Para saksi dimintai kesaksian seputar teknis pengadaan serta spesifikasi e-KTP yang menjadi objek utama proyek.


    Beberapa saksi mengungkapkan indikasi penyimpangan e-KTP. Salah satunya Kristian Ibrahim Moekmin. Kristian yang juga mantan staf di Lembaga Sandi Negara itu mengakui bahwa rekomendasi Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) tentang lingkup kegiatan pengadaan e-KTP. ”Yang saya ingat kenapa tidak dipecah-pecah karena nanti jadi sulit disinkronkan,” ujarnya.


    LKPP saat itu menyarankan kepada pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek e-KTP, yakni terdakwa Sugiharto, memisahkan ruang lingkup pekerjaan e-KTP. Sebagai catatan, ada 9 ruang lingkup pekerjaan di proyek tersebut. Semuanya dijadikan satu saat proses pengadaan. (tyo)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top