• Berita Terkini

    Sabtu, 01 April 2017

    Pemerintah Samakan Perlakuan Pajak bagi Angkutan Online dan Konvensional

    JAKARTA – Hari ini Revisi Peraturan Menhub Nomor 32 Tahun 2016 yang mengatur angkutan non trayek resmi berlaku, dengan masa transisi tiga bulan. Kemarin, Presiden memanggil sejumlah menteri untuk membahas regulasi tersebut.

    Termasuk di antaranya memtuskan mengenai penyamaan sistem pajak antara angkutan konvensional dan online.
     Sejumlah menteri tampak berdatangan ke kompleks Istana Kepresidenan kemarin. di antaranya, Menkeu Sri Mulyani, Menhub Budi Karya Sumadi, Menko Maritim Luhut Binsar Pandjaitan, dan Menkominfo Rudiantara. Tampak hadir Pula Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf.



    Usai pertemuan sekitar satu jam, Menkeu Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemerintah akan membuat level playing field (perlakuan yang seimbang) pada industri transportasi. Khususnya dalam hal perpajakan. ’’Antara bisnis online dan konvensional, treatment mengenai perpajakannya juga sama,’’ terangnya.

    Jangan sampai ada salah satu pihak yang dirugikan hanya karena kebijakannya berbeda antara satu dnegan lainnya. Meskipun demikian, mantan Managing Director Bank Dunia itu tidak menjelaskan lebih teknis bagaimana perlakuan pajak yang sama itu.


    Selama ini, pelaku usaha transportasi dikenai berbagai macam pajak. Selain PPh badan (perusahaan), ada pula PPh pegawai dan pengemudi. Kemudian, pajak kendaraan bermotor, juga PPn. Pada angkutan konvensional pajak kendaraan bermotor ditanggung perusahaan. Sementara, pada angkutan berbasis online, pajak ditanggung masing-masing pemilik mobil.


    Sementara itu, Syarkawi Rauf menjelaskan bahwa ada setidaknya dua poin usulan pihaknya yang diakomodir oleh Presiden. Pertama soal pengalihan STNK dari pribadi kepada perusahaan atau koperasi. Para pengemudi tidak wajib lagi mengubah STNK nya menjadi milik koperasi. ’’Sesuai perintah presiden seperti itu,’’ terangnya.


    Pengaturan tersebut dimungkinkan, bila mengacu pada UU Koperasi. Ada yang dikategorikan sebagai aset koperasi, ada pula yang masuk kategori aset individu. Sehingga, dalam kasus angkutan online, pengemudi tidak diwajibkan untuk membalik nama mobilnya. Kala itu, hal tersebut memang menjadi polemik di kalangan pengemudi taksi online karena mobil-mobil itu mereka beli sendiri, bukan dibelikan perusahaan.

    Hal kedua adalah mengenai kuota. ’’Presiden setuju (penghapusan kuota),’’ lanjutnya. Dengan dihapuskannya kuota, tutur Syarkawi, maka dimungkinkan terjadi persaingan sehat antara taksi konvensional dengan online.


    Sementara, mengenai usulan tarif, Presiden menolak. Syarkawi menyatakan bisa menerima hal tersebut. ’’Tarif bawah ini untuk mmenghindari kemungkinan jual rugi atau dugaan predatory pricing,’’ tuturnya. Karena itu, memang diperlukan transisi untuk menetapkan tarif bawah yang sesuai dengan kondisi di lapangan.

    Sedikit berbeda, Menhub Budi Karya Sumadi tidak langsung membenarkan bahwa presiden menghapuskan sistem kuota untuk transportasi non trayek. ’’Kuota akan dikaji apakah ini akan menimbulkan ekses terjadinya pungli,’ ujarnya. Yang terpenting adalah bagaimana preferensi konsumen.


    Ada banyak jenis ekses pungli yang jadi kekhawatiran. Mulai dari adanya jual beli kuota di daerah hingga adanya sistem pungutan liar pada para driver bila melewati batas wilayah operasional.


    Sementara, untuk pemberlakuan tarif bawah akan diberlakuan transisi selama tiga bulan ke depan. Pada akhirnya, yang menentukan tarif bawah nantinya adalah pemerintah pusat, dalam hal ini kemenhub. Poin penting dari kebijakan Presiden adalah konsumen juga harus dilindungai dengan adanya kebijakan-kebijakan transportasi.

    Terpisah, DPP Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) mengapresiasi langkah pemerintah dalam penyetaraan pajak untuk angkutan sewa khusus ini. Sekjen Organda Ateng Aryono menuturkan, sesama usaha angkutan memang semestinya mendapat perlakuan sama, sesuai dengan mudanya. ”jadi kalau angkutan sewa, ya sama dengan angkutan sewa. Biasanya, dari tarif dikenakan ppn 10 persen,” ujarnya.

    Disinggung soal pernyataan ketua KPPU soal pembatalan pembatasan kuota angkutan online, Ateng mengaku belum mengetahui perihal tersebut. Sebab, terakhir berkomunikasi dengan Menhub, revisi PM 32/2016 masih akan berjalan sesuai dengan poin-poin di dalamnya.

    Namun, bila memang pembatasan kuota dibatalkan dengan alasan kekhawatiran soal pungli ini, Ateng mengaku agak lucu melihatnya. Menurutnya, kasus pungli di jalan belum jelas berapa case yang terjadi. Sementara saat ini, banyak sekali angkutan online yang beroperasional tanpa izin. Ibaratnya, kuman diseberang lautan tampak tapi Gajah dipelupuk mata tak tampak.


    ”Tapi saya masih yakin, Pak Presiden tentu mempertimbangkan semua sisi dengan berimbang demi Indonesia,” ungkapnya.

    Dia turut menjawab pernyataan Syarkawih soal persaingan yang tidak sehat bila dilakukan pembatasan. Menurutnya, tidak semua cocok dengan mekanisme tersebut. ”Untuk industry produk tertentu cocok, namun jasa angkutan apa bisa efisiensi tercapai dengan cara itu? Apalagi mellibatkan UMKM kan?” tandasnya. (byu/mia)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top