• Berita Terkini

    Jumat, 31 Maret 2017

    Godok 27 Skenario Tekan Defisit DJS Kesehatan

    ilustrasi
    JAKARTA – Defisit dana jaminan sosial (DJS) kesehatan semakin membengkak tiap tahun tahunnya. Muncul kekhawatiran, jaminan sosial ini tak bisa bertahan lama bila defisit tak dikendalikan. Pemerintah tengah mematangkan sejumlah skenario untuk mengatasi defisit anggaran tersebut.



    Ditemui usai rapat koordinasi di kantornya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani menyebutkan, ada 27 skenario yang tengah dibahas oleh pihaknya bersama kementerian/lembaga terkait. Skenario tersebut akan dikerucutkan mana yang paling sesuai untuk kemudian diterapkan segera.

    ”Apakah nanti peran pemerintah daerah (pemda) ditingkatkan, lalu hitungan aktuaria iuran sesuai dengan kondisi tahun ini seperti apa. Bisa juga ada sinergitas, jadi warga miskin tidak langsung masuk pembiayaan PBI tapi dibantu Kementerian Sosial. Semua opsi kita lihat,” ujarnya di Jakarta, kemarin (30/1).


    Puan mengungkapkan, pengkajian ini mendesak dilakukan. Apalagi jika melihat angka defisit DJS kesehatan tahun 2016 yang tidak sedikit. Yakni, sebesar Rp 9,7 Triliun. Jumlah tersebut terus mengalami kenaikan dari tahun pertama jaminan sosial ini berdiri. Di tahun 2014, defisit yang terjadi mencapai Rp3,3 triliun dan di tahun selanjutnya, naik menjadi Rp5,7 triliun.


    ”Tahun ini kita harapkan berkurang. Paling tidak (defisit) terkendali. Jangan sampai naik. Tapi tentunya, jangan sampai malah merugikan masyarakat,” ungkap Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.


    Karenanya, Puan meminta agar kajian ini segera dirampungkan. Dia memberi batas waktu satu bulan untuk bisa mengerucutkan 27 skenario tersebut menjadi satu opsi pasti. Opsi tersebut besar kemungkinan dikeluarkan dalam bentuk aturan perundangan baru. ”Tapi belum tahu nanti apakah Perpres atau Inpres. Kita kaji nanti. Karena keduanya kan beda fungsinya,”tuturnya.


    Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fachmi Idris mengungkapkan, ada masalah fundamental yang masih terjadi dalam pembiayaan jaminan sosial kesehatan ini. Yakni, masalah iuran yang belum sesuai aktuaria.


    Dia menjelaskan, pada evaluasi sebelumnya, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sudah membreakdown perhitungan iuran sesuai aktuaria. Untuk peserta bantuan iuran (PBI), jumlah iuran sebesar Rp 36 ribu per orang. Kemudian, peserta mandiri untuk kelas III sebesar Rp 53 ribu per orang.


    ”Tapi kan PBI diputuskan sesuia kemampuan pemerintah Rp 23 ribu. Satu orang sudah minus Rp 13 ribu. Lalu, kelas III agar tidak membebani masyarakat diputuskan Rp 25.500 per orang. Sudah minus berapa. Yang sesuai baru peserta mandiri kelas I,” ujarnya.


    Diakuinya, perlu opsi-opsi khusus untuk bisa mengatasi masalah defisit ini. Ada beberapa poin yang masuk di dalam 27 skenario yang disiapkan pemerintah, baik itu financial intervention ataupun police intervention.


    Untuk police intervention misalnya, terkait peran pemda dalam cost sharing, peran BPJS kesehatan dalam mengatur pembiayaan di rumah sakit, masa administrasi peserta dan lainnya. ”Sekarang kan 14 hari untuk administrasi, apakah nanti ditambah atau bagaimana, itu kita bahas,” jelasnya.


    Lalu, muncul pula opsi untuk membahas cost sharing pada kasus-kasus yang mengindikasikan perilaku kurang baik. Misalnya, peningkatan kasus sesar pada tanggal tertentu yang bukan indikasi medic. ”pada tanggal 1 Januari jadi ramai, lalu 17 Agustus jadi ramai. Ini harus dikontrol dengan cost sharing” ungkapnya.


    Sedangkan untuk finance intervention, salah satu opsinya adalah penyesuaian iuran. Apakah besaran ini sudah bisa disesuaikan dengan perhitungan yang ada atau muncul angka baru. ”Semuanya dibahas. Tapi yang paling memungkinan itu peningkatan peran pemda. Tapi ini juga dibahas dulu,” ujarnya.


    Bila opsi ini yang dipilih, maka ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Yakni, pengalihan anggaran cukai rokok yang biasanya sebagain dibagi ke pemda akan ditarik untuk dana aloasi defisit. Atau, penggunaan sisa anggaran pemda yang ditarik untuk alokasi dana defisit tersebut. “Sekali lagi ini masih dibahas. Nanti diputuskan setelahnya,” tegasnya.


    Terpisah, Kepala Departemen Komunikasi Eksternal dan Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi menambahkan, angka Rp 9,7 triliun yang disebutkan bukan semata-mata hutang BPJS kesehatan. Dia menjelaskan, setidaknya ada tiga komponen yang masuk dalam hitungan tersebut. Yakni, biaya operasional, biaya manfaat (klaim) dan biaya cadangan teknis.

    Untuk biaya opersional, ini digunakan untuk operasional BPJS Kesehatan itu sendiri. Sedangkan biaya cadangan teknis, merupakan anggaran yang wajib disisihkan untuk cadangan sesuai dengan aturan OJK. Dana ini digunakan sebagai bentuk antisipasi bila tiba-tiba terjadi masalah pada sisi keuangan.


    ”Jadi itu bukan sepenuhnya biaya manfaat yang kesannya itu hutang BPJS Kesehatan ya,” tandasnya.


    Diakuinya, saat ini audit terkait keuangan 2016 BPJS Kesehatan masih berlangsung. Sejauh ini, dana iuran mencapai Rp 67,7 Trilliun. Sedangkan biaya manfaat mencapai Rp 67,2 triliun. Jumlah tersebut belum termasuk dengan beberapa klaim yang masih dihitung. Dari besaran biaya manfaat tersebut, paling besar dikucurkan untuk pembiayaan kasus katastropik. Seperti jantung, kanker, talasemia dan lainnya. Yakni sebesar Rp 14 Triliun. (mia)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top