• Berita Terkini

    Rabu, 15 Maret 2017

    Cerita Miris Korban Eksploitasi Magang SMK di Klaten

    ANGGA PURENDA/ RADAR KLATEN
    GUNA menelisik bagaimana tahapan program magang di SMK Kesehatan Rahani Husada.  Jawa Pos Radar Klaten menemui salah satu dari empat siswa yang memilih keluar dan melarikan diri dari program magang tersebut. Bahkan sudah satu bulan tak sekolah. Dialah ARU, 17, saat ditemui di rumahnya di Kecamatan Pedan.

    Dijelaskan ARU, program magang yang dijalani siswa reguler terjadi pada saat kenaikan kelas X ke kelas XI. Sebelum menjalani magang dirinya diberi pembekalan oleh pihak sekolah terkait keterampilan terapi dan bekam selama tiga bulan di sebuah mes di Kelurahan Mojayan, Kecamatan Klaten Tengah.

    “Waktu itu saya masuk ke mes sejak 1 Agustus 2016 untuk menerima pembekalan selama tiga bulan. Keseharian kita habiskan di tempat tersebut bersama puluhan siswa lainnya dengan mendapatkan pengajaran dari guru yang datang ke mes. Kami hanya mendapatkan materi selama tiga bulan. Selebihnya kami disuruh keliling mencari pasien dengan target 80 pasien setiap bulannya,” ucap ARU saat ditemui di rumahnya, Selasa (14/3).

    Ia mengatakan, sejak November dirinya mulai menjalani magang di sekitar daerah Klaten untuk mencari pasien. Dirinya diharuskan bekerja tanpa mengenal libur, sekalipun itu masuk dalam libur nasional dari pagi hingga malam hari. Tak jarang dirinya sempat menerima perlakuan tak menyenangkan selama menjalani tugasnya yang mengarah pada tindakan susila. Tapi pihak sekolah dan yayasan tak mau tahu.

    Karena tak kuat menjalani kehidupan di mes dengan program magang yang sangat menguras tenaga, akhirnya pada 11 Februari 2017 ARU melarikan diri. Ia mengalami depresi dan menceritakan keseluruhan yang dialaminya kepada orang tuanya. Pasalnya, selama menjalani kehidupan di mes dirinya tak diperbolehkan berkomunikasi menggunakan handphone, karena disita oleh pihak yayasan yang mengelola mes.

    Sementara itu, orang tua ARU, Jihasto Susilo, 48, mengaku kaget atas program magang yang dijalani anaknya. Menurutnya, belum sepantasnya, dalam dunia pendidikan anak belasan tahun menjalani program magang seperti mencari penghasilan dengan cara ditarget.

    “Sebelum masuk ke mes, orang tua diwajibkan membayar Rp 3 juta. Katanya untuk membiayai kebutuhan anak saya sehari-hari, tapi nyatanya kondisinya sangat miris. Lauk makan telur saja dibagi dua siswa lainnya. Apalagi makan lele juga dibagi tiga dengan siswa lainnya. Saya ketahui saat menjenguk anak saya di mes, jujur saya tak tega,” terang Susilo. (ren/edy)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top