• Berita Terkini

    Rabu, 22 Februari 2017

    UU Keistimewaan DIJ Belum Layak Diubah

    ILUSTRASI
    JAKARTA - Sidang lanjutan judicial review pasal 18 ayat (1) huruf M yang mengatur syarat menjadi Gubernur DI Jogjakarta berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK). Kemarin (21/2) agendanya mendengarkan keterangan saksi ahli dan saksi pihak terkait. Saksi yang didatangkan Jadul Maula, sedangkan saksi ahli adalah Ketua Paguyuban Dukuh se-Daerah Jogjakarta Sukiman Hadiwijoyo.


    Judicial review (JR) sendiri dilakukan delapan warga Jogjakarta yang merasa dirugikan dengan norma di pasal tersebut. Dalam pasal itu disebutkan, calon gubernur dan calon wakil gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat. Yakni dengan menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.


    Nah, oleh pemohon, frasa istri dalam pasal tersebut dinilai ambigu dan inkonstitusional. Sebab, secara tidak langsung telah membatasi adanya kemungkinan perempuan dipilih sebagai gubernur. Hal itu dinilai bertentangan dengan konstitusi yang tidak membeda-bedakan jenis kelamin.


    Dalam keterangannya, Sukiman mengaku tidak sependapat dengan JR yang diajukan pemohon. Selain pemohon tidak merepresentasikan warga Jogja, dia khawatir jika dikabulkan akan merusak struktur yang sudah melekat di masyarakat di Kota Gudeg itu. “Akan berakibat mengubah sejarah yang belum pernah ada, yaitu menobatkan sultan perempuan,” ujarnya di gedung MK, Jakarta, kemarin (21/2).


    Sukiman mengatakan, UU Keistimewaan DIJ yang sudah disahkan empat tahun lalu itu dibuat dengan banyak sekali perjuangan. Khusunya bagi seluruh elemen di Jogja yang terlibat. Tak terkecuali menyangkut pemantapan struktur Paugeran Keraton Jogjakarta.


    Karena itu, ketika Sultan justru ikut menjadi pihak terkait yang menguatkan pemohon JR, dia selaku masyarakat merasa kecewa. “Semestinya Sultan ada di sisi kita untuk mempertahankan UU Keistimewaan DIJ, sebagaimana kami bersama beliau pada saat itu dengan penuh pengorbanan memperjuangkan keistimewaan menjadi undang-undang keistimewaan,” imbuhnya.


    Seperti diwartakan, Gubernur DI Jogjakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X sendiri mendukung perubahan syarat yang memperbolehkan perempuan. Dia menilai, urusan apakah yang menggantikan laki-laki atau perempuan menjadi hak internal keraton. “Proses penggantian kekuasaan terhadap tahta kerajaan menjadi kewenangan otonomi raja sebagai pemegang kekuasaan pembentukan paugeran,” ujarnya saat memberikan keterangan akhir tahun lalu.


    Sementara itu, saksi pihak terkait Jadul Maula menilai, belum ada kondisi darurat yang dijadikan alasan mengubah Paugeran Keraton Jogjakarta. Dia berpendapat, perubahan tersebut bisa dilakukan jika dalam realitasnya tidak ada lagi keturunan laki-laki dari trah Hamengku Buwono atau trah Panembahan Senopati.


    “Kalau bukan tiga alasan di atas, tetapi alasan perubahan zaman menjadi modern yang disampaikan, saya bisa mengatakan bahwa raja perempuan itu bukanlah fenomena modern,” ujarnya. Jadul menilai, argumen yang diajukan pemohon dengan alasan penguatan justru kontradiksi dengan pasal lainnya. Di mana meminta agar kearifan lokal keraton Jogjakarta bisa dijaga.

    “Para pemohon sepertinya tidak menyadari bahwa di balik keterbatasan perspektif mereka, ada bahaya yang lebih besar terhadap kebudayaan Jogjakarta dan kearifannya yang justru akan dilindungi UU Keistimewaan ini. (far/oki)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top