• Berita Terkini

    Selasa, 21 Februari 2017

    Ada Oknum Aktivis Perlindungan Anak Jadi Pelaku Pencabulan, ini Kata Psikolog

    Alvieni Angelica MPsi
    KEBUMEN (kebumenekspres.com)- Angka kekerasan terhadap anak dan perempuan di Kabupaten Kebumen makin meresahkan. Tak hanya soal tingginya jumlah kasus, para pelaku pun bisa bisa siapa saja. Bahkan, sempat beredar ada oknum aktivis perlindungan anak dan perempuan yang malah menjadi pelaku.

    Salah satu Associate Psikolog di Yayasan Pulih Jakarta Alvieni Angelica MPsi Psikolog mengatakan, hal itu bisa saja terjadi. Siapa saja kini bisa menjadi pelaku kekerasan terhadap anak dan perempuan. Tak peduli tingkat pendidikan, profesi maupun golongan sosial. Namun demikian, dia mengingatkan, mereka adalah oknum dan tidak bisa digeneralisasi.

    "Selalu ada oknum dalam setiap bidang kerja tanpa terkecuali. Kalau benar ada (aktivis perlindungan anak dan perempuan jadi pelaku kejahatan seksual) ini bisa saja terjadi karena yang bersangkutan tidak memegang etika profesional kerja dengan baik, sehingga seringkali justru maksud untuk menolong malah menjadi penyebab terjalinnya relasi yang semakin dalam,” ucapnya.

    Lebih jauh,  Alvieni Angelica mengatakan, ada banyak faktor yang dapat menyebabkan seseorang kemudian menjadi pelaku kekerasan. Seperti pengalaman kekerasan seksual serupa di masa kanak-kanaknya. Ini membuat seseorang memiliki dorongan seksualnya kepada anak-anak. “Pelaku seperti ini, seringkali dikenal dengan sebutan pedophilia (gangguan psikologis pada orang dewasa yang memiliki dorongan seksual pada anak-anak),” tuturnya, kepada Ekspres via telepon.

    Psikolog lulusan dari Universitas Indonesia (UI) ini menjelaskan, penyebab lainnya pelaku kemungkinan merupakan orang yang memiliki gangguan kepribadian, misalnya gangguan anti sosial. Anti sosial merupakan gangguan dimana orang yang memilikinya, meyakini bahwa aturan sosial tidak berlaku baginya sehingga cenderung tidak menghormati hak orang lain. Pelaku lantas mengekspresikannya dalam bentuk kekerasan atau hal lain yang sifatnya "nyleneh".

    Selain itu, lanjut Alvieni, pelaku bisa juga terjadi pada orang yang memiliki gangguan kepribadian narcisstic (narsistik) yang cenderung dialami pada kaum pria.

    Gangguan ini menyebabkan orang yang mengalaminya merasa dirinya “besar”. Ia mencari pujian yang berlebihan, kurang empati sehingga cenderung ingin mengontrol dan menunjukkan kekuasaannya.

    Atau bisa juga justru sebaliknya, pelaku memiliki harga diri yang rendah, sehingga hanya pada anak-anak dan remaja, mereka merasa bisa lebih menunjukkan dominasinya yang dalam kasus ini diekspresikan dalam bentuk kekerasan seksual. “Namun, perlu dicermati bahwa belum tentu juga orang yang memiliki gangguan kepribadian di atas menjadi pelaku kekerasan seksual pada anak. Dalam banyak kasus, tentu penyebabnya unik di setiap pelaku,” ungkapnya.

    Psikolog yang menjalankan praktik privatnya di Jakarta itu juga mengemukakan, pelaku dapat juga memiliki trauma hubungan dengan orang dewasa yang begitu menyakitkan. Akibatnya, mereka tidak mampu lagi menjalin hubungan dengan orang dewasa.

    Mereka merasa lebih aman untuk berelasi dan mengekspresikan kebutuhan seksualnya pada anak maupun remaja. “Selain itu, berita-berita yang semakin gencar menceritakan terkait dengan adanya kasus kekerasan seksual pada anak, juga bisa menyebabkan peristiwa kekerasan seksual pada anak justru semakin meningkat. Hal ini bisa terjadi karena pada dasarnya otak manusia cenderung lebih ceat menangkap peristiwa atau pengalaman negatif dibandingkan dengan hal yang positif,” paparnya. (mam)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top