• Berita Terkini

    Rabu, 11 Januari 2017

    Dhukutan, Tradisi Warga Kabupaten Karanganyar Peringati Ikrar Damai

    ARIEF BUDIMAN/RADAR SOLO
    KARANGANYAR – Upacara adat desa di sejumlah kecamatan di Karanganyar masih terus dilestarikan. Salah satunya Upacara Dhukutan di kampung wisata Nglurah Kelurahan/Kecamatan Tawangmangu pagi kemarin (10/1). Upacara tersebut sebagai wujud ikrar damai warga yang sempat berselisih di masa lalu.


    Prosesi upacara cukup unik sekaligus ekstrim. Sebab, warga saling lempar makanan sesaji berupa tumpeng, buah hingga sayur-sayuran. Upacara tersebut digelar di Situs Menggung, salah satu Cagar Budaya di Karanganyar. Situs tersebut berupa punden berundak setinggi 20 meter yang terdapat arca Aerlangga di sebuah pohon Panggang.


    Upacara berlangsung meriah. Aneka sesaji yang sudah dijaga dari semalam sambil semedi oleh warga Nglurah dikeluarkan dan diiring puluhan warga setempat pukul 08.00. Sejumlah pria memakai udeng, rompi dan batik menjadi peserta tawur. Kemudian diiringi rombongan ibu dengan sergam gamis warna merah. Sesaji diarak dari pendapa yang tak jauh dari Situs Menggung. Lalu, sesaji tersebut didoakan oleh sesepuh setempat

    Setelah doa selesai, sesaji yang berupa makanan yang terbuat dari jagung, sayur dan buah pisang itu dibawa para peserta tawur mengelilingi situs Menggung. Makanan itu dilempar-lemparkan ke luar sambil berteriak ‘Hooreee’. Beberapa peserta tawur sengaja melemparkan makanan ke masyarakat yang hadir. Sehingga prosesi upacara seperti tawuran.

    Ismanto Kepala Lingkungan Nglurah mengatakan, tradisi Dhukutan dipercaya sudah berlangsung sejak abad 14. Tradisi ini sebagai simbol perdamaian nenek moyang warga Nglurah setelah lama berselisih. Diceritakan, wilayah Nglurah terbagi dalam Nglurah Lor dan Nglurah Kidul. Nenek moyang dua wilayah itu kerap berselisih.

    Karena prihatin dengan kondisi itu, pempimpih Nglurah Lor yang disebut sebagai Kyai Menggung dan pemimpin Nglurah Kidul Nyai Rasa Putih menangis darah (Luh Getih). Untuk mendamaikan dua warga itu, mereka memutuskan untuk bersatu menjadi pasangan suami istri. Akhirnya, dua warga yang berselisih menjadi damai.
    ”Dukutan diambil dari perhitungan wuku dalam kalender Jawa. Harinya Selasa Kliwon jumlahnya 36,” terang Ismanto.

    Dijelaskan, peserta Tawur berteriak Hore sebagai lampiasan kegembiraan. Sebab, sesaji yang disandarkan di tinon (tempat sesaji) dan dijaga semalam suntuk sambil meditasi akhirnya dimakan. Adapun makanan berbahan dasar jagung karena makanan khas di wilayah dulunya adalah jagung. Bahkan olahan makanan dari jagung masih mudah ditemukan di desa tersebut.

    ”Tradisi ini diharapkan membawa ekonomi warga Nglurah lebih baik,” tandasnya.

    Rangkaian acara dilanjutkan dengan pentas wayang kulit semalam suntuk dan kethoprak di pendapa desa setempat. (adi)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top