• Berita Terkini

    Minggu, 20 November 2016

    Perdagangan Anak di Solo Tembus 673 Kasus

    ilustrasi
    Diperbudak di Tempat Hiburan Malam
    SOLO – Kasus perdagangan anak menjadi perhatian banyak pihak. Pasalnya, persentase meningkat tiap tahunnya, bahkan hingga tahun ini, kasus tersebut masih muncul. Seperti catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus perdagangan anak cenderung mengalami peningkatan dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.

    Perdagangan anak pada 2010 mencapai 410 kasus. Lantas meningkat menjadi 480 kasus pada 2011 dan menjadi 673 kasus pada 2012. Peningkatan tersebut juga terlihat dari data Bareskrim Polri yang berasal dari seluruh polda di Indonesia. Pada 2007-2013 tercatat 267 kasus perdagangan orang.

    Lantas yang diproses 137 kasus, P21 atau berkas lengkap 120 kasus, dan yang SP3 10 kasus. Sebagian kasus trafficking hanya 50 persen yang diproses jaksa penuntut umum (JPU). ”Melihat data sepertinya fenomena ini menjadi sangat genting dan perlu disosialisasikan pada masyarakat,” kata Ketua Yayasan Kakak Solo Soim Cahriyati, saat ditemui Jawa Pos Radar Solo di sela kampanye ”Stop Perdagangan Anak di aula SMKN 7 Solo, kemarin (19/11).

    Peningkatan terus terjadi belakangan ini. Maka pihaknya selaku yayasan yang peduli anak berupaya berkampanye di beberapa sekolah di Kota Solo dengan terget 2.000 siswa. Sejauh ini pihaknya mendampingi 33 anak korban eksploitasi seksual. Di mana 76 persen merupakan anak sekolah yang duduk di bangku SMP dan SMA.
    Sosialisasi tersebut dilatarbelakangi atas mencuatnya kasus yang terjadi pada Mei 2016. Polisi mengungkap 19 anak menjadi korban perdagangan di Kutai Barat, Kalimantan Timur (Kaltim) dan diperkejakan di tempat hiburan malam. ”Rata-rata korban eksploitasi seksual dalam ranah perdagangan anak dialami anak usia 12-18 tahun,” beber dia.
    Fenomena usia korban mengalami sedikit pergeseran. Pada tahun-tahun sebelumnya, rata-rata usia korban berkisar antara 15-18 tahun. Perubahan tersebut terjadi karena perkembangan zaman di era modern. ”Dulu itu korban didominasi anak SMA/SMK, tapi kini didominasi anak SMP," paparnya.

    Kasus ekploitasi seksual anak, mayoritas korban tidak menyadari bahwa mereka menjadi korban. Mirisnya, saat kasus terungkap tak jarang korban malah membela pelaku karena dianggap sebagai pahlawan. ”Kasus yang kami tangani 2016 ini sekitar 20-an kasus di eks Karesidenan Surakarta,” kata Soim.

    Banyaknya korban dalam kasus perdagangan anak ditengarai dari ketidakharmonisan antara korban dan keluarga. Hal tersebut menimbulkan korban lebih percaya pada orang lain di luar keluarganya. Dengan demikian, pola rehabilitasinya sedikit berbeda dengan kasus kekerasan seksual biasa.

    ”Poinnya bagaimana mengembalikan kepercayaan korban terhadap keluarga. Di luar itu peran aktif sekolah juga sangat menentukan korban eksploitasi seksual," ujar dia. Maka, situasi tersebut menekankan pentingnya sekolah dalam melakukan berbagai upaya pencegahan eksploitasi seksual dan perdagangan anak.
    Menanggapi fenomena itu, Kepala SMKN 7 Solo Wening Sukmanawati mengaku siap meneruskan upaya menekan perdagangan anak. Salah satunya melalui kegiatan pendampingan keluarga agar terjadi kesinambungan kerja antara pihak sekolah dan orang tua. ”Saat kasus itu terjadi psikis anak adalah hal utama yang harus dikuatkan. Karena itu keluarga dan sekolah harus sejalan untuk mendampingi dan menguatkan," terangnya. (ves/un)
    JS: Korban Trafficking Malah Bela Pelaku


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top