• Berita Terkini

    Kamis, 01 Desember 2016

    Kurang dari Setahun Mundur, Setnov Resmi Ketua DPR lagi

    ILUSTRASI
    JAKARTA - Hanya butuh 350 hari bagi Setya Novanto untuk bisa kembali menduduki kursi ketua DPR. Kemarin (30/11), ketua umum DPP Partai Golkar itu resmi ditetapkan menduduki kembali posisi yang sempat dilepasnya, pada 16 Desember 2015, lalu.


    Penetapan Setnov -sapaan akrab Setya Novanto- kembali menjadi ketua dewan tersebut dilakukan lewat sidang paripurna DPR. Prosesi persidangan berlangsung mulus. Diawali dengan penyampaian pandangan fraksi-fraksi, tidak ada satupun penolakan yang muncul.


    ”Pertama-tama, saya mengucapkan terimakasih dan penghargaan kepada fraksi-fraksi dan seluruh anggota DPR Republik Indonesia,” ucap Setnov, dalam pidato sambutannya, usai dilantik, di ruang rapat paripurna DPR, Komplek Parlemen, Jakarta, kemarin.


    Dia lalu berjanji akan bekerja keras menjalankan amanah sebagai pimpinan DPR sebaik-baiknya. Termasuk, akan bekerja keras menjalankan tugas sebagai pimpinan DPR sebagaimana harapan rakyat.


    Pada kesempatan itu, dia diantaranya juga menyatakan akan meningkatkan hubungan yang lebih produktif dengan lembaga tinggi negara lainnya. Khususnya, dengan Presiden Republik Indonesia. ”Hal itu dalam kerangka memperkuat sistem presidensiil,” ujarnya, dihadapan sidang paripurna.


    Suara-suara mengembalikan Setnov kembali menjadi ketua DPR sudah bergulir sejak awal September 2016 lalu. Tepatnya, sesaat setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan yang bersangkutan menyangkut ketentuan di Pasal 5 UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) soal alat bukti elektronik. Saat itu, secara garis besar, MK memutuskan bahwa bukti elektronik haruslah atas permintaan kepolisian dan penegak hukum lainnya.


    Permohonan Setnov ke MK terkait pasal tersebut tidak lepas dari kasus yang sempat membelitnya di parlemen sebelumnya. Yaitu, kasus yang bermula ketika percakapan Setnov direkam dan dijadikan alat bukti di Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Belakangan, dikenal dengan kasus ’Papa Minta Saham’. Meski akhirnya memutuskan mundur dari ketua DPR seiring bergulirnya proses etik yang berjalan, dia tetap tidak terima dengan alat bukti rekaman tersebut.


    Suara-suara mengembalikan Setnov menjadi ketua DPR baru konkrit dijalankan, pasca dilaksanakannya rapat pleno DPP Golkar, pada 21 November 2016, lalu. Saat itu, peserta rapat sepakat memutuskan Setnov kembali diajukan sebagai ketua DPR menggantikan Ade Komarudin (Akom). DPP bergerak cepat. Bukan hanya mengimplementasikan putusan lewat fraksi, sejumlah pendekatan-pendekatan politik terhadap simpul-simpul di internal Golkar juga dilakukan. Terakhir, adalah pertemuan dengan Dewan Pembina Golkar yang diketuai Aburizal Bakrie, pada Senin (28/11), lalu.


    Saat rapat paripurna penetapan Setnov sebagai ketua DPR tersebut, Akom absen. Mantan rival Setnov saat memperebutkan kursi ketua umum Golkar pada Munas Golkar di Bali, Mei 2016, lalu itu mengabarkan kalau sedang berobat ke luar negeri. Sidang dipimpin Wakil Ketua DPR Fadli Zon, didampingi tiga wakil ketua DPR lainnya. Yaitu Agus Hermanto, Fahri Hamzah, dan Taufik Kurniawan.  


    Di hari yang sama, kembalinya Setnov sebagai ketua DPR dibarengi putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atas Akom. Melalui proses persidangan yang berlangsung sekitar sepekan saja, MKD menjatuhkan sanksi berupa pemberhentian Akom sebagai Ketua DPR. Penetapan sanksi MKD itu sedikit memunculkan catatan, karena Akom sebagai pihak yang diadukan tidak pernah sekalipun diperiksa atau dimintai keterangan.


    Dalam putusannya, MKD menjatuhkan dua sanksi sekaligus kepada Akom. Dalam aduan terkait langkah Akom memindahkan persetujuan rapat kerja pembahasan Penyertaan Modal Negara dari Komisi VI ke Komisi XI, Akom mendapatkan sanksi ringan.


    ”Diputuskan bahwa terdapat pelanggaran ringan. Sehingga diberi sanksi berupa peringatan tertulis. Dan menetapkan mitra kerja komisi 11 dikembalikan termasuk pembahasan PMN (penyertaan modal negara),” ujar Sufmi Dasco Ahmad, Ketua MKD membacakan putusan.


    Pada kasus kedua, Akom diadukan empat anggota Badan Legislasi (Baleg) karena dianggap menunda sidang paripurna DPR terkait pengesahan RUU Tembakau sebagai hak inisiatif DPR. Dengan mekanisme tata tertib dewan bahwa seorang anggota dewan yang pernah dijatuhi sanksi ringan tidak bisa lagi mendapat sanksi yang sama, MKD menjatuhkan sanksi pelanggaran sedang kepada Akom.


    ”MKD memutuskan pelanggaran etik kriteria sedang, sehingga diputuskan sejak Rabu saudara Akom dinyatakan berhenti dari jabatan Ketua DPR,” ujar Dasco.

    Dalam agenda kemarin, MKD sejatinya menjadwalkan pemeriksaan terhadap Akom. Namun, Wakil Ketua Dewan Pembina Golkar itu menyampaikan surat pernyataan tengah melakukan pemeriksaan kesehatan di Singapura. Meski begitu, MKD bersikeras tetap memutus perkara pelanggaran etik Akom, menjelang paripurna penetapan Setnov sebagai Ketua DPR.

    ”Dalam hukum acara kita sudah layangkan panggilan ke yang bersangkutan, 2 kali. Terakhir tadi ada surat yang bersangkutan tidak hadir. Sesuai hukum acara kita, MKD bisa ambil keputusan secara in absentia,” kata Syarifudin Sudding, Wakil Ketua MKD.


    Putusan MKD yang tidak memeriksa Akom dinilai janggal. Peneliti Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, tanpa ada pemeriksaan, MKD berani memutus seseorang melanggar etika anggota dewan. ”Dari sisi prosedural, putusan MKD janggal,” kata Lucius.


    Menurut Lucius, bisa jadi keputusan itu hanya untuk memberi legitimasi untuk pelantikan Ketua DPR yang baru. Langkah MKD dalam hal ini patut dikritisi, karena secara sepihak tidak memberi kesempatan pada Akom membela diri. ”Kalau memang dua kali dipanggil tidak datang, kan masih ada metode pemanggilan paksa,” kata Lucius.

    Lucius menilai, situasi semacam itu bisa memunculkan preseden. Bisa jadi, nanti MKD kembali memutus pelanggaran etik tanpa perlu memeriksa pihak teradu. ”Mereka (MKD, red) bisa digugat, karena mereka juga anggota DPR yang juga tunduk pada kode etik DPR,” ujarnya.


    Terpisah, Sekretaris Fraksi Partai Amanat Nasional Yandri Susanto mengaku prihatin mendengar proses putusan MKD bagi Akom. Yandri mengingatkan agar MKD jangan terkesan menjadi tunggangan politik pihak tertentu. Karena itu, MKD tidak perlu sebenarnya terburu-buru memutus kasus Akom. ”Saya dengar pak Akom belum diperiksa sama sekali. Ini menimbulkan keresahan, termasuk saya,” kata Yandri.


    Yandri menilai, sebagai lembaga pengadil pelanggaran etik dewan, MKD seharusnya lebih klir dan cermat. Sebagai teradu, Akom memiliki hak untuk membela diri, sehingga apa yang disampaikan bisa menjadi pertimbangan dalam memutus perkara etik. ”Jangan sampai ini menjadi wajah perpolitikan kita,” tandasnya.

    Sementara itu, terpisah, Presiden Joko Widodo mengisyaratkan bahwa dia ogah ikut campur proses politik yang terjadi terkait penetapan Novanto sebagai Ketua DPR kembali. Saat dikonfirmasi, Jokowi irit komentar. ’’Itu wilayahnya DPR,’’ ujar Jokowi usai silaturahmi dnegan Ketua MPR Zulkifli Hasan di Istana Merdeka kemarin (30/11).

    Meskipun demikian, Jokowi tetap berharap keputusan di rapat paripurna itu nantinya bisa berdampak baik ke depan. Tidak hanya sebatas bermanfaat bagi internal DPR. ’’Kita inginnya semuanya bermanfaat bagi bangsa dan negara,’’ tambah Presiden 55 tahun itu. (dyn/bay/byu)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top