• Berita Terkini

    Rabu, 12 Oktober 2016

    Mengenang Almarhum Muslich Bambang Luqmono, Ketua Majelis Hakim Perkara Nenek Aminah

    dokumenpribadi
    Tak Pernah Bawa Pekerjaan ke Rumah, Habiskan "Sangu" Istri untuk Bantu Kaum Papa


    Hakim Muslich Bambang Luqmono tutup usia Minggu (9/10). Sosok hakim yang dikenal publik sebagai Ketua Majelis Hakim  yang mengadili kasus nenek Minah itu dimakamkan di pemakaman Desa Kutowinangun, Kabupaten Kebumen pada Senin (10/10/2016). Bagaimana sosok hakim yang dikenal berani menolak tekanan demi independensi hakim semasa hidupnya itu di mata keluarganya?
    -------------------------
    Saefur dan Cahyo, Kutowinangun
    -------------------------
    SEBUAH rumah berlantai dua di Jalan Pemuda no 17 Desa/Kecamatan Kutowinangun terlihat sepi, Selasa (11/10). Tak terlihat sisa-sisa rangkaian bunga sebagai duka cita. Itulah rumah almarhum Hakim Muslich Bambang Luqmono (MBL), hakim yang dikenal sebagai sosok pemberani dan tegas semasa hidupnya. Ya, kesederhanaan sepertinya melekat pada diri Hakim Muslich Bambang Luqmono. Almarhum yang menyebut dirinya "hakim ndeso" itu pun meninggal dalam kesederhanaan seperti tergambar sepanjang hayatnya.

    Nur Azizah (61), istri almarhum mengatakan, suaminya itu meninggal dalam usia 66 tahun karena penyakit tumor yang dideritanya. Sempat dirawat di  RS Garya Tri Purwokerto,  Muslich Bambang Luqmono menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu puku 07.30 WIB. Dan, atas kesepakatan keluarga, almarhum disemayamkan di peristirahatan terakhir di Kutowinangun Kebumen.

    Menurut Nur Azizah, penyakit telah menggerogoti tubuh suaminya. Tumor pada leher kiri itu membuat almarhum menahan sakit setahun terakhir. "Akibat sakit, itu Bapak  tidak bisa menggerakkan tubuhnya secara sempurna pada tangan kanan dan kaki. Bapak sempat dioperasi pada tahun 2013," ujarnya.

    Itu juga membuat almarhum harus menjalani opname di RS Garya Tri Purwokerto sebelum akhirnya MBL menghembuskan nafas terakhir. Nur Azizah mengungkapkan, pada Sabtu sore atau sekitar 12 jam sebelum meninggal, almarhum yang tercatat sebagai hakim di Pengadilan Tinggi Semarang itu masih mau makan dengan disuapi. "Pas kebetulan saat itu teman-teman istri para hakim dari Semarang sedang membesuk. Lalu saya bisiki pak itu ada tamu istri temen temen hakim dari Semarang kesini. Saat itu Bapak hanya menjawab hmm," kenang Azizah tentang saat-saat terakhir berkomunikasi dengan suami tercintanya itu.

    Itulah komunikasi terakhir Nur Azizah dengan almarhum. Sejak itu, tensi darah Muslich Bambang Luqmono terus menurun sedangkan detak jantungnya naik meski nadi normal. Tak lama berselang,  Muslich Bambang Luqmono meninggal dunia.

    Kepergian almarhum tentu saja meninggalkan duka mendalam bagi keluarga. Di mata Nur Azizah, suaminya itu merupakan pribadi yang sederhana, semangat dan pekerja keras, serta berjiwa sosial yang tinggi. Almarhum juga dikenal sangat hobi bersepeda.

    Soal hobi almarhum bersepeda, Nur Azizah memiliki cerita menarik. Kalau di rumah pas libur, Bapak sering bersepeda jauh. Kadang sampai ke Gombong (sekitar 40 km dari Kutowinangun, red). Malah pernah Bapak bersepeda dari Kabupaten Temanggung untuk pulang ke Kebumen,"katanya.

    Yang mengharukan, lewat hobi bersepeda itupula, almarhum sering mengunjungi warga masyarakat yang tidak mampu dan memberikan bantuan. Lucunya, itu tak sepengetahuan sang istri. "Saat tertentu, Bapak sering minta uang ke saya kalau mau bersepeda. Pulang-pulang, uangnya habis sampai saya berpikiran bapak kok boros sekali. Ternyata baru saya tahu kalau uang itu habis lantaran untuk beramal dengan memberi kepada mereka yang membutuhkan," kenangnya.

    Selain bersepeda, almarhum juga dikenal "nyentrik" lantaran tak pernah lepas dari peci saat persidangan. Kesederhanaan dan nyentriknya MBL bisa terlihat dari hidupnya sehari-hari. Dia memilih ke mana-mana naik sepeda dan tidak memiliki kendaraan bermotor. Satu-satunya dia meninggalkan sepeda onthel saat bertugas di Jayapura karena rumah dinas dan kantornya masih satu kompleks. Untuk bepergian sehari-hari, MBL memilih naik kendaraan umum.  Bahkan, dalam sejumlah kesempatan, almarhum menyebut dirinya sebagai "Hakim Ndeso". Gaya nyentrik dan sederhana itu diimbangi dengan keputusan pengadilan yang mengundang kekaguman.

    Seperti pada kasus nenek Aminah, misalnya. Pada perkara nenek Minah yang mencuri beberapa buah kakao itu MBL tidak memenjarakan Nenek Minah dan memberikan vonis percobaan. Atas putusan tersebut calon hakim agung mendapat apresiasi dari LSM, budayawan, dan Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar.

    Namun, ada juga yang mempertanyakan vonis itu. Salah satunya, saat almarhum mengikuti seleksi calon hakim Agung 2012 silam di depan Komisi III DPR RI. Saat itu, Anggota Komisi III Sarifuddin Sudding memberi pertanyaan kepada MBL sebagai hakim yang memutus perkara nenek Minah pencuri beberapa buah kakao. Sudding prihatin terhadap nenek Minah yang dihukum oleh pengadilan.

    MBL menanggapi pertanyaan Sudding.  Menurutnya, sebelum menjatuhkan putusan, ia menemui nenek Minah. Ia mengagumi sosok nenek Minah. Meski sudah tua renta, namun amatlah berhati-hati dalam hukum. Dalam pertemuan tersebut, Nenek Minah mengakui dirinya sebagai pencuri tiga buah kakao. Oleh karena itu, nenek Minah meminta MBL untuk menghukumnya. “Saya dihukum saja supaya terbebas dari peradilan hukum akhirat,” ujar MBL menirukan nenek Minah. “Jadi dia sendiri yang minta dihukum,” tambahnya saat itu.

    Saat membacakan putusan, MBL mengaku menangis di pengadilan. Ia pun terbata-bata saat membacakan pertimbangan putusan. Menurutnya, sebagai hakim ia tetap merdeka dalam membuat putusan dengan mengedepankan hati nurani. “Seorang rakyat kecil sangat berhati-hati mau masuk surga. Saya dihukum saja, saya bersalah. Jadi itu asbabun nuzulnya,” ujar dia.

    Terkait vonis sang suami kepada Nenek Aminah, Nur Azizah mengatakan tak banyak dia ketahui. Menurutnya, almarhum tak pernah membicarakan soal pekerjaan di rumah. "Kalau saya tanya, paling Bapak jawabnya lihat saja nanti. Untuk vonis Nenek Aminah saya malah tahu dari media," ujarnya.

    Tak hanya perilaku yang sederhana, MBL juga sosok yang tak pernah memilih tempat dimana dia ditugaskan. Bahkan di daerah terpencil sekalipun dimana hakim lain enggan untuk ditugaskan. Seperti saat almarhum harus ditugaskan di Papua. Sejumlah pihak menganggap, kepindahan ke Papua itu lantaran almarhum menolak kebijakan pemerintah orde baru yang mengharuskan setiap hakim masuk partai Golkar. Lantaran menolak aturan itu, pemerintah lantas "membuang" almarhum ke Papua.

    Soal tugas di Papua ini, Nur Azizah merasa perlu mengklarifikasi anggapan itu seperti pemberitaan sebuah media yang menyebut almarhum pindah ke Papua karena skorsing pemerintah. "Bertugas di Jayapura bukan dikarenakan beliau bukan diskorsing namun keinginan sendiri," ungkapnya.

    Selain Papua, almarhum sudah bertugas di sejumlah daerah di Indonesia. Dari Aceh, Kalimantan, Papua, hingga kembali ke pulau Jawa. Di Jawa, almarhum pernah bertugas di Cilacap, Purwokerto hingga terakhir di Semarang dimana itulah tempatnya menjalankan tugasnya sebagai hakim. "Bapak harusnya masih setahun lagi bertugas. Tapi belum sampai pensiun, beliau sudah dipanggil Yang Maha Kuasa," ujar Nur Azizah.

    Mengingat hari-hari terakhir almarhum yang sakit-sakitan, Nur Azizah kembali bersedih. Sebab, ada sebagian masyarakat yang menganggap sakitnya MBL lantaran gejala PNS yang terkena post power syndrome (khawatir pensiun). "Tidak, suami saya tidak pernah takut pensiun. Kalau menjelang pensiun dia sakit itu karena kehendak Allah semata bukan sebab lain," ujarnya. Almarhum meninggalkan seorang istri dan tiga anak.  (*)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top