• Berita Terkini

    Selasa, 25 Oktober 2016

    IDI Eks Karesidenan Surakarta Tolak Studi Tambahan

    RADARSOLO
    SOLO – Ratusan dokter yang biasanya berada di ruangan ber-AC, siang kemarin (24/10), mereka kompak turun ke jalan. Bukan hanya di Solo, tapi hampir di seluruh wilayah Eks Karesidenan Surakarta. Satu tujuannya, mendesak pemerintah merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yang didalamnya mengatur program studi tambahan untuk menjadi seorang dokter.


    Di Kota Bengawan, aksi dipusatkan di bundaran Gladak. Dengan menggunakan jas kebesarannya, mereka berorasi lantang. “Meskipun sekarang belum wajib, tapi kalau lama-lama dibiarkan pasti wajib diambil. Kasihan adik-adik kita sekarang yang masih menempuh pendidikan,” tegas Ketua IDI Cabang Surakarta Adji Suwandono.


    Adanya program studi tambahan itu, para calon dokter harus mengikuti program Dokter Layanan Primer (DLP) yang merupakan lanjutan dari program profesi dokter.
    “Meskipun sekarang belum wajib, tapi kalau lama-lama dibiarkan pasti wajib diambil, kasian adik-adik kita sekarang yang masih menempuh pendidikan,” ujarnya.
    Untuk menjadi dokter, lanjut Aji, harus menempuh pendidikan dokter selama 5 tahun. Dilanjutkan pendidikan koas atau dokter muda selama 2 tahun. Masih ditambah pendidikan profesi selama 2 tahun. Jika ada DLP, maka butuh 3 tahun lagi baru bisa dinobatkan menjadi dokter.

    “Kapan mereka lulusnya? Padahal mereka adalah penerus kami ketika kami yang sudah pensiun,” terang Adji.


    Selain membuat studi calon dokter lebih lama, biaya yang dikeluarkan untuk pendidikan makin banyak. Ini dikhawatirkan cita-cita masyarakat jadi dokter terkikis.

    Padahal lanjut Adji, ada poin krusial yang seharusnya lebih mendapat perhatian pemerintah. Yaitu memilah fakultas kedokteran yang benar-benar terakreditasi dan yang tidak. “Fakultas kedokteran sangat banyak dan banyak pula yang tidak terakreditasi,” tandas dia.

    Lewat aksi damai itu juga disuarakan kritikan tentang program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). JKN dinilai tidak pro rakyat karena kerap muncul masalah. Apesnya, yang kerap dikambinghitamkan adalah dokter atau rumah sakit sebagai pelaksana teknis.

    “Lewat aksi damai ini kami ingin menunjukkan bahwa (masalah JKN) bukan salah dokter. Melainkan kesalahan sistem yang ada di Kementerian Kesehatan. Itu menjadi masalah ketika masyarakat ingin mendapat pelayanan dari kami,” ungkap Adji.

    Aksi serupa dilakukan di Karanganyar. Ratusan anggota IDI Karanganyar mendatangi gedung DPRD. Ketua IDI Karanganyar Nur Hidayat menuturkan, DLP bukan satu-satunya cara meningkatkan kompetensi dokter umum yang bekerja di layanan primer. Sebab, mereka sudah bekerja sebagai dokter layanan primer.
    ”Kami melihat pemerintah belum melihat masalah layanan primer secara holistik. Akibatnya, lahir keputusan baru yang menimbulkan masalah. Selama ini profesi kita sudah mencakup dokter layanan primer,” ucapnya.

    ”Dikeluarkannya UU Nomor 23 tahun 2013 itu tidak didahului dengan riset lapangan yang matang. Kami menolak dan mendesak pemerintah agar melakukan revisi UU itu,” imbuh Nur.

    Ketua Komisi D Endang Muryani berjanji menyampaikan aspirasi tersebut ke pemerintah pusat. Menurutnya, kebijakan pemberlakukan pendidikan DLP sepenuhnya kewenangan pemerintah pusat.

    Sedangkan di Sukoharjo, aksi damai dipusatkan di RSUD Sukoharjo. Mereka juga menggalang tanda tangan agar pemerintah merevisi UU Pendidikan Kedokteran. Juru bicara (jubir) aksi Agus Prihatmo menjelaskan, lebih baik pemerintah memikirkan tentang pemerataan dokter ke seluruh wilayah Indonesia.
    ”Penyebaran dokter belum merata. Dengan kondisi seperti itu, masak dokter suruh sekolah lagi. Bila kita sekolah, pelayanan untuk masyarakat siapa yang melayani,” urai Agus.

    Sekretaris IDI Cabang Sukoharjo Sri Mulyani ikut menyatakan kekecewaannya. Ditekankan dia, lulusan kedokteran sudah memiliki kompetensi DLP sehingga dokter praktik tidak perlu mengikuti kembali program tersebut.

    Di Kota Susu, puluhan anggota IDI juga mendatangi DPRD Boyolali dan diterima Ketua DPRD S Paryanto didampingi Wakil Ketua Adi Maryono dan Tugiman B Semita serta anggota komisi terkait lainnya.“Dokter umum sudah cukup bagus memberikan layanan primer. Jadi sebenarnya tak perlu lagi mengikuti pendidikan DLP,” tutur koordinator aksi Anton Christanto. Mendengar aspirasi tersebut, ketua DPRD S Paryanto berjanji meneruskannya ke pusat. (atn/adi/yan/wid/wa)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top