• Berita Terkini

    Kamis, 06 Oktober 2016

    Dampak Larangan Cantrang, Puluhan Ribu Nelayan Tegal Terancam Menganggur

    K. ANAM SYAHMADANI/RATEG
    TEGAL- Puluhan ribu nelayan di Kota Tegal terancam menganggur. Itu, jika Kementerian Kelautan dan Perikanan menerapkan Permen Nomor 2 Tahun 2015 yang diterbitkan per 8 Januari 2015. Sebab di dalam aturan tersebut, mengatur tentang larangan penggunaan 17 alat tangkap, termasuk cantrang. Demikian disampaikan Ketua Paguyuban Nelayan Kota Tegal (PNKT) Eko Susanto kepada wartawan, Rabu (5/10).

    Menurut Eko, pihaknya kini seakan sudah putus asa dan tidak akan bertanggungjawab jika terjadi gejolak di lingkungan nelayan maupun hal-hal tidak diinginkan. Sebab, adanya aturan tersebut dinilai tidak berpihak kepada kondisi nelayan. “Ada rencana bakal mengadakan aksi mogok melaut. Hal ini seperti bom waktu yang tidak bisa dibayangkan lagi bagaimana dampaknya terhadap perekonomian masyarakat, ketika nelayan dan pekerja perikanan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup,” katanya.

    Eko berharap, pemerintah dapat mencari solusi dan antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya persoalan tersebut. Yakni, dengan mengundur batas waktu penerapan aturan itu sekitar tiga atau empat tahun, khususnya terkait pelarangan cantrang dan memberikan kesempatan pada nelayan untuk beralih menggunakan alat tangkap lainnya. “Saat ini percikan-percikan masalah di lapangan mulai terjadi. Beberapa waktu lalu ada insiden perkelahian antarnelayan. Meski akhirnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Hal itu merupakan efek keresahan mereka yang tidak dapat bekerja guna mencukupi kebutuhan hidup keluarganya,” jelasnya.

    Dikemukakan, para nelayan sangat berharap kepada pemerintah agar ada kajian dari lembaga independen, tentang penggunaan alat tangkap jenis cantrang. Hal tersebut untuk memastikan apakah cantrang benar-benar merusak atau tidak. Jika memang dinilai berbahaya, perlu disampaikan kepada para nelayan. Dengan demikian, dapat dilakukan modifikasi agar tidak berdampak negatif bagi lingkungan. “Selama ini kami tidak merasa cantrang itu memiliki dampak merusak lingkungan,” ujarnya.

    Masih menurut Eko, para nelayan merasa resah dengan keluarnya Permen Nomor 2 Tahun 2015 karena peraturan itu muncul tanpa sosialisasi terlebih dulu dan tidak ada solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Di samping itu, pada 2016, ada Surat Edaran yang memberikan batas waktu atau deadline kepada para nelayan, sampai tanggal 31 Desember 2016. “Pemerintah tidak memahami kendala yang dihadapi nelayan. Untuk mengganti alat tangkap membutuhkan biaya besar. Satu kapal bisa menelan anggaran sekitar Rp1 miliar,” paparnya.

    Jumlah anggota PNKT, saat ini mencapai 423 kapal. Setiap kapal terdiri dari 25 anak buah kapal (ABK). Kata Eko, sebagian dari mereka bisa melaut pun kebanyakan meminjam modal ke perbankan, menjaminkan tanah, rumah atau barang lain. Itu dilakukan agar dapat menangkap ikan untuk menghidupi keluarganya. Sedangkan, para nahkoda kapal juga banyak yang butuh adaptasi, ketika alat tangkap cantrang diganti dengan jenis lain.

    “Cara kerja maupun teknik pengoperasiannya berbeda. Minimal memerlukan waktu dua tahun guna mempelajari alat baru,” ungkapnya. Selain itu, banyak pihak yang mengais rezeki, saat para nelayan bisa melaut dengan lancar. Misalnya, bakul di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), pengolahan ikan asin beserta seluruh karyawannya, dan penjual sayuran di pasar. Jika semuanya tidak bisa berjalan, dikhawatirkan akan terjadi pengangguran massal. (nam)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top