• Berita Terkini

    Senin, 12 September 2016

    Tak Pernah Kebanjiran, Petilasan Pangeran Anden Dipercaya Mengapung

    dok/saefur/ekspres
    KEBUMEN (kebumenekspres.com) - Warga Desa Jogomertan Kecamatan Petanahan sangat menghormati makam petilasan Pangeran Adipati Anden dan Pangeran Prawironegoro yang berada di wilayah tersebut. Selain karena sarat dengan nilai historis, tempat itu juga dianggap warga memiliki keistimewaan.

    Murhadi Suroso (85), warga setempat, mengisahkan Adipati Anden adalah seorang pangeran dari keraton Jogja yang melarikan diri ke Kecamatan Petanahan, Kebumen karena menentang kebijakan Pemerintah Penjajahan Belanda yang menarik pajak terlalu tinggi kepada rakyat.

    Bersama para pengikut setianya, Pangeran Anden mengobarkan perlawanan kepada Belanda di Kebumen.  Untuk melawan penjajah, Pangeran Anden bersama salah satu pengikut setianya, Pangeran Prawironegoro mendirikan sebuah wilayah kekuasaan di Kebumen. Namun, saat itu Belanda telah sebagian menguasai wilayah Kebumen Barat yaitu Gombong.

    Untuk mempertahankan diri dari gempuran Belanda, Pangeran Anden dan pengikutnya membuat 7 sumur sebagai pertahanan yang tersebar di sekitar wilayahnya. Namun, usaha Pangeran Anden belum terwujud hingga akhirnya meningal dunia.

    Hingga kemudian, perjuangnya diteruskan oleh Pengikut setianya Pangeran Prawironogoro. "Namun, belum mencapai kejayaannya, Pangeren Prawironegoropun meninggal dan dimakamkan di samping Pangeran Anden," tutur Murhadi Suroso yang mengaku masih keturunan Pangeran Anden itu, Kamis (8/9/2016).

    Murhadi Suroso mengisahkan, makam leluhurnya itu memiliki keistimewaan. Meski berada di areal persawahan yang kerap banjir saat hujan, makam itu tak pernah ikut kebanjiran. "Setiap turun hujan dan air menggenangi area persawahan, kedua makam tersebut tak pernah tenggelam mengapung layaknya sebuah perahu," ujarnya.

    Karimun salah satu kerabat dari Murhadi Suroso mengamini hal itu. Menurutnya, pernah ada warga yang kesurupan setelah mengambil plastik kresek di dekat makam. Plastik itu dipergunakan untuk membungkus telepon genggam lantaran saat itu hujan.  "Sesampainya di rumah, warga bernama Slamet itu kesurupan penunggu petilasan. Melalui Slamet, dia (penunggu petilasan) berpesan bahwa tempat itu harus dijaga dan dirawat," tutur Karimun.

    Dia menambahkan, awalnya makam itu  hanya bertumpukan batu bata kuno di bawah pohon Kepuh besar. Pada tahun 1972, makam direnovasi oleh  Ir Sanyoto dan Ibu Alimurtopo yang merupakan paman buyut Murhadi Suroso. Kini, makam itu berbentuk seperti mushola atau masjid. "Saat renovasi, pohon kepuh ditebang dan diganti dengan 10 pohon cemara. Namun kini hanya tersisa 1 pohon yang masih hidup," ujar Murhadi.(saefur/cah)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top