• Berita Terkini

    Sabtu, 27 Agustus 2016

    Lampu Hijau Full Day School

    ilustrasi
    ROTE NDAO - Gagasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy soal full day school (FDS) memang belum jadi kebijakan nasional. Namun dia memberikan lampu hijau kepada pemerintah daerah untuk menerapkan FDS di daerah masing-masing.


    Lampu hijau penyelenggaraan FDS oleh Muhadjir itu dia sampaikan setelah ada sejumlah pemda yang menerapkan di daerah setempat. "Yang saya tahu di Siak dan Kabupaten Pasuruan," katanya saat dihubungi kemarin. Apapun istilah yang digunakan, intinya waktu siswa berada di sekolah sampai sore. Lebih panjang dari jam belajar reguler sebelumnya.


    Mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) bahkan mendorong dan mengapresiasi pemda yang berinisiatif menerapkan FDS. Tanpa harus menunggu kebijakan FDS menjadi regulasi nasional. Melalui durasi siswa di sekolah yang lebih panjang, bisa digunakan untuk menanamkan pendidikan karakter.


    Setelah daerah dengan hak otonomi menjalankan FDS, Kemendikbud tinggal membuat kebijakan menjembatani dengan kurikulum nasional. Kemudian Kemendikbud juga tinggal menyiapkan konten-konten pendidikan karakter di pemda yang telah menerapkan FDS itu. Dia menegaskan kebijakan menjembatani atau sinkronisasi ini masih menjadi kajian di Kemendikbud. Selama masih digodok, bukan berarti sistem FDS dilarang untuk diterapkan.


    Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Siak Kadri Yafis menuturkan sistem FDS berlaku mulai tahun ajaran 2016/2016. "Untuk sementara masih berlaku di kelas VII (1 SMP, red)," katanya usai menjadi pembicara di Kemah Guru di Wilayah Perbatasan (Kawasan) 2016 yang digelar di Kabupaten Rote Ndao, NTT kemarin (26/8).


    Kadri mengatakan sistem FDS sudah berjalan di 97 unit SMP Negeri di seluruh Siak. Nama yang digunakan adalah Wustho. Sesuai namanya, penambahan jam siswa di sekolah ini fokus pada kajian-kajian Islam. Jadi program wustho ini dikhususnya untuk siswa muslim. Bagi yang non muslim, setelah sekolah reguler langsung pulang.

    Sementara untuk siswa muslim, setelah bel pulang sekolah berbunyi pukul 14.00 siswa tetap berada di sekolah. Isinya di sekolah wustho ini seperti membaca alquran, bahasa Arab, fiqih, dan hadis. "Gurunya sendiri. Beda dengan sekolah reguler," jelasnya. Untuk menyokong kegiatan wustho ini, orangtua membayar iuran bulanan mulai Rp 20.000 sampai Rp 50.000 per bulan.
    Sambutan orangtua cukup positif. Pasalnya jika pulang sekolah sudah pukul 14.00, anak-anak capek dan susah disuruh mengaji. Jadi mengajinya sekalian di sekolah. Untuk makan siang, ada siswa yang membawa sejak pagi. Ada juga yang makan siangnya diantar oleh orangtua ke sekolah. (wan/acd)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top