• Berita Terkini

    Kamis, 21 Juli 2016

    Catatan Seorang Netizen: Kisah dari Watuagung dan Banjir Longsor di Banyumas

    BANYUMAS -  Siang ini memenuhi kehendak Si Sulung, Bhaskara Luthfie Rufiadi, saya dan Si Sulung jalan-jalan menuju Curug Simawur, di Dukuh Siwarak, Desa Watuagung, Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas.

    Perjalanan cukup berliku, mengingat saya masih sangat buta lokasi curug tersebut, meskipun saya lahir dan besar di wilayah Kecamatan Tambak, bahkan leluhur saya dari garis keturunan ayah pun berasal dari Desa Watuagung.

    Melalui jalur timur, via Desa Purwodadi dengan mengendarai sepeda motor saya membingungkan anak lelaki saya. Sesampainya di Dusun Brajageni, Desa Watuagung, saya lihat jalan menanjak cukup tajam, setelah merenung sejenak, akhirnya saya urungkan niat untuk melakukan field trip ke Curug Simawur. Balik kanan. Hari ini adalah puasa terakhir. Sebagai seorang ayah, ingin memberikan kesan untuk anaknya dengan mengajak jalan-jalan mengenal lingkungan sekitar.

    Setelah gagal menuju Curug Simawur, saya putar balik menyusuri jalan masih di wilayah Desa Watuagung, tembus di dekat SD N Watuagung. Alhamdulillah, jalan  sangat mulus dan aspal hotmix, nampaknya belum lama diaspalnya.

    Jalan ini dikala saya kecil, sekitar 25 tahun lalu sering saya lalui. Sembari bernostalgia mengenang masa kecil, sekaligus mengisi waktu puasa bersama Si Sulung.

    Karena jalan sangat mulus, saya terus melaju dan ternyata sampai di area hutan pinus milik Perum Perhutani. Sayangnya memasuki area hutan pinus tersebut kondisi jalan rusak, nampaknya sedang proses pengaspalan, mengingat material pasir batu banyak ditemukan sepanjang jalan.
    Yang lebih mengejutkan lagi, di perbukitan hutan pinus tersebut, di beberapa lokasi terlihat ada bekas longsoran yang cukup parah, bahkan ada bekas tanah longsoran yang menutup bahu jalan.

    Selain itu saya melihat ada bekas tonggak tebangan pohon pinus di beberapa lokasi. Akhirnya saya menemukan papan pengumuman dari Perum Perhutani yang menyatakan sedang ada penebangan pohon-pohon tersebut untuk pohon pinus yang ditanam tahun 1976.

    Entah ada korelasinya atau tidak dengan adanya penebangan pohon pinus yang dilakukan oleh Perum Perhutani tersebut, yang jelas pada hari Sabtu-Minggu, 18-19 Juni 2016, mulai sekitar pukul 17.30 WIB, sebagian besar wilayah Kecamatan Tambak mengalami musibah banjir bandang yang sangat dahsyat dan terbesar sepanjang 30 tahun terakhir.

    Termasuk desa kelahiran saya, Desa Prembun, menjadi desa terdampak paling parah dari adanya musibah banjir tersebut.Bersyukur tidak sampai jatuh korban jiwa di desa saya. Karena penasaran, saya terus melaju ke jalan perbukitan hutan pinus tersebut dan sampailah saya di Dusun Siwarak, masih termasuk Desa Watuagung.

    Bekas banjir bandang dan longsoran material tanah masih terlihat jelas di SD Siwarak, bangunan rusak, buku-buku terlihat masih berserakan. Entah pada saat nanti libur kenaikan kelas dan libur Lebaran usai, sekolah telah dapat dipergunakan kembali atau tidak. Nampak terlihat spanduk 'AYO BANGKIT' dari Baznas terpasang di sekolah tersebut.

    Tidak jauh dari lokasi SD Siwarak, terdapat Mushola Al Huda, yang terletak di bibir sungai. Syukur Alhamdulillah, nampaknya mushola tersebut tidak mengalami kerusakan. Sembari istirahat, saya dan Si Sulung, menunaikan ibadah sholat Dhuhur.

    Setelah menunaikan sholat Dhuhur, saya mengajak Si Sulung untuk terus melaju ke atas. Awalnya sempat enggan, tapi setelah saya bujuk, akhirnya Si Sulung kembali bersemangat.
    Sekitar 500 meter kemudian, saya berpapasan dengan seorang Bapak yang juga memboncengkan seorang perempuan beserta seorang anak, nampaknya merupakan suami

    istri. Saya menanyakan lokasi Curug Simawur, dan tak dinyana ternyata lokasinya cukup dekat, sekitar 250 m, hanya saja jalan menanjak, berbatu/ belum beraspal, lebarnya pun hanya sekitar 1 m.

    Agak nekat, saya beranikan diri menanjak jalan setapak tersebut. Alhamdulillah, akhirnya sampai di sebuah rumah warga dan setelah saya tanyakan, ternyata curug tersebut berada di belakang rumah sekitar 150 m.

    Hanya saja warga tersebut menyatakan kondisi curug sangat memprihatinkan, karena banyak material longsoran. Bapak tersebut mengatakan daerah Siwarak sedang dirundung bencana. Ketika ditanyakan apakah diatas bukit ada penebangan pohon pinus oleh Perum Perhutani atau tidak, Bapak tersebut mengatakan tidak ada.
    Benar saja, sesampainya di Curug Simawur, keindahan alam seolah sirna dengan adanya sisa-sisa material longsoran.

    Akhirnya, saya dan Si Sulung turun dengan berjalan kaki, sementara sepeda motor dibawa menuruni lokasi oleh warga setempat. Nahasnya, helm tertinggal di rumah warga, sehingga Si Sulung saya minta mengambil tersebut.

    Petualangan terus berlanjut. Setelah mendapat informasi dari warga bahwa diatas masih ada permukiman penduduk yaitu Dukuh Plandi, saya semakin bersemangat untuk menuju ke sana.  Mengingat saya mengetahui Dukuh Plandi, warganya mayoritas menganut agama Budha. Tentu, komunitas ini adalah merupakan minoritas di Desa Watuagung dan di Kecamatan Tambak.

    Saya ingin mengenalkan keberagaman Indonesia secara langsung kepada Si Sulung.Biasanya ia hanya mendapatkan materi keberagaman agama masyarakat dari buku teks sekolah. Sayangnya, kami tidak menemukan Vihara di sana, mungkin letaknya agak di dalam/di sekitar pemukiman.
    Kondisi Dukuh Plandi juga cukup parah terdampak longsor. Saya melihat ada bukit yang longsor dan menurut informasi warga setempat ada rumah warga yang tertimbun longsor.
    Saya juga melihat ada 1 unit mobil orange BNPB di Dukuh Plandi, dan ekscavator. Semoga musibah banjir dan tanah longsor, tidak terjadi lagi di tanah air,  termasuk di wilayah kami. Aamiin.Penulis,

    Afit Rufiadi
    Warga Tambak Banyumas



    Berita Terbaru :


    Scroll to Top