• Berita Terkini

    Jumat, 03 Juni 2016

    APBD Tak Lagi Danai Kampanye Pilkada

    Total Ditanggung Calon dan Parpol Pengusung
    JAKARTA- Hasil revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) akhirnya resmi disahkan, kemarin (2/6). Lewat pembahasan maraton selama setidaknya 47 hari, sejumlah poin perubahan termuat dalam perubahan kedua UU No. 1 Tahun 2015 tersebut. Salah satunya soal sejumlah metode kampanye yang tidak lagi didanai APBD.


    Berdasar hasil revisi, pendanaan metode kampanye berupa penyebaran bahan kampanye kepada umum dan pemasangan alat peraga, kini dialihkan pendanaan dan pelaksanaanya pada pasangan calon atau partai politik. Termasuk, yang juga dapat didanai adalah pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka.
     "Komisi II dan pemerintah sepakat bahwa kampanye adalah wujud pendidikan politik bagi masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggungjawab, karena itu dibuka ruang peran serta pasangan calon dan parpol," tutur Ketua Komisi II Rambe Kamarulzaman, usai sidang paripurna pengesahan revisi UU Pilkada, di Komplek, Parlemen, Jakarta, kemarin.

    Pada Pilkada Serentak 2015 lalu yang masih mengacu pada UU Pilkada lama, pengadaan alat peraga dan bahan kampanye menjadi bagian yang ditanggung APBD. Dasar penerapan aturan tersebut adalah tentang equal treatment terhadap setiap calon. Bahwa, tidak ada pasangan calon kaya sehingga bisa jor-joran atau yang tidak kaya.


    Namun, ketentuan tersebut punya implikasi sampingan. Pesta demokrasi di tingkat daerah pada 2015 lalu dianggap banyak pihak relatif sepi. "Ini yang coba dijawab dengan revisi terakhir," imbuh Rambe.


    Beriringan dengan ketentuan tersebut, UU Pilkada yang baru juga memuat perubahan besaran sumbangan dana kampanye. Ada peningkatan batas sumbangan perseorangan, yaitu dari maksimal Rp 50 juta menjadi 75 juta. Begitupun dengan badan hukum yang juga meningkat dari Rp 500 juta ke Rp 750 juta.

    Proses pengesahan hasil revisi UU Pilkada tersebut, relatif berlangsung mulus. Meski, sempat muncul interupsi yang disampaikan sejumlah perwakilan fraksi, Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan yang memimpin sidang tidak butuh proses yang berbelit-belit untuk mengetukkan palu tanda disahkannya hasil revisi.

    Salah satu interupsi diajukan anggota Fraksi PKS Almuzammil Yusuf. Meski demikian, interupsi tersebut sebatas penegasan atas catatan yang disampaikan fraksinya saat pengambilan keputusan tingkat pertama di rapat pleno Komisi II, Selasa (31/5), lalu.


    Meski sepakat pembahasan dilanjutkan ke pengambilan keputusan tingat dua di sidang paripuna, ketika itu, PKS tetap ada di posisi menolak aturan kewajiban mundur anggota dewan tersebut. Bersama Fraksi Partai Gerindra, mereka berpandangan kalau anggota DPR, DPD, dan DPRD cukup mengajukan cuti.
     "Pandangan kami ini sesuai dengan pandangan dua mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Prof Jimly  Asshiddiqie dan Prof Mahfud MD. Kita tidak ragukan lah kepakaran dan integritas dua tokoh ini," kata Muzammil, dalam interupsinya.

    Selain soal kewajiban mundur bagi anggota dewan, pembahasan revisi UU Pilkada juga sempat menyentuh poin-poin lainnya seputar mekanisme pengajuan pasangan calon, baik dari partai politik maupun perseorangan. Meski, tidak semuanya mengalami perubahan.


    Syarat bagi calon independen, misalnya. Walaupun sempat didorong kencang oleh sejumlah fraksi untuk dinaikkan, pada akhirnya syarat tetap tidak berubah. Mayoritas fraksi akhirnya mengikuti pandangan pemerintah terkait hal tersebut.

    Begitupun dengan persentase syarat pengajuan calon oleh partai politik. Meski awalnya, hampir semuanya mendorong untuk diturunkan menjadi hanya minimal 15 persen suara di pemilu sebelumnya atau 20 persen dari jumlah kursi di DPRD, namun terakhir hanya tersisa 4 fraksi yang mempertahankan pandangan tersebut.

    Selain Fraksi PKS dan Gerindra, Fraksi Demokrat dan PKB juga bertahan. Kesepakatan terakhir lagi-lagi mengikuti pandangan pemerintah yang menginginkan syarat tetap pada minimal 20 persen suara di pemilu sebelumnya atau 25 persen dari jumlah kursi di DPRD masing-masing daerah. Suara empat fraksi itu sekedar menjadi catatan.

    Sedangkan diantara yang mengalami perubahan adalah dihapuskannya sanksi bagi parpol yang tidak mengajukan calon. Pada UU Pilkada sebelumnya partai atau gabungan partai yang tidak mengajukan calon dikenai sanksi tidak boleh mengajukan pasangan calon pada pilkada berikutnya.


    Terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menyatakan, tidak diturunkannya syarat pengajuan calon oleh parpol berakibat jumlah pasangan calon dari unsur partai politik potensi tidak akan naik secara signifikan pada pilkada berikutnya.
    "Kecenderungan partai politik untuk membangun koalisi besar semakin akan terjadi dan mengurangi aspek representasi pemilih di daerah," kata Hafidz.


    Selain itu, syarat wajib mundur bagi anggota legislatif untuk nyalon di pilkada, membuat mereka berpikir dua kali untuk maju. Menurut Hafidz, seharusnya hal ini disikapi secara positif, dengan memunculkan aktor politik baru di daerah. "Kewajiban mundur bagi anggota legislatif seyogyanya dijadikan momentum oleh partai politik untuk membangun regenerasi aktor-aktor politik di daerah," ujarnya.


    Hal yang patut diapresiasi di revisi UU Pilkada adalah sanksi administrasi pembatalan pasangan calon yang melakukan politik uang. Menurut Hafidz, ketentuan ini dapat menurunkan motivasi pasangan calon untuk melakukan politik uang. Sanksi pembatalan sebagai pasangan calon akan berdampak signifikan dengan memunculkan kehatian-hatian dari pasangan calon untuk melakukan politik transaksional.


    "Perlu ada mekanisme prosedural yang jelas bagaimana proses penegakan sanksi administrasi ini yang dilakukan oleh Bawaslu sehingga kepastian hukum terwujud," tandasnya.


    Sementara itu, menyikapi keputusan pengesahan yang berhasil dilakukan, pemerintah memastikan bakal menggunakan hasil revisi UU pilkada itu untuk jangka panjang. "Kalau ini sudah diketok, sampai 2019 pemerintah tidak akan mengajukan RUU baru untuk pilkada," terang Seskab Pramono Anung di kantornya kemarin (2/6). Seluruh stakeholder pemilu diminta memaksimalkan penerapan UU yang diketok kemarin di DPR.


    Pemerintah menilai hal-hal yang menjadi ganjalan di pilkada 2015 sudah bisa selesai tahun ini. Termasuk di antaranya sengketa kepengurusan di tubuh partai politik. Sehingga, aturan tersebut diharapkan bisa dipakai untuk jangka panjang. Tidak perlu ada perubahan UU untuk pilkada berikutnya.


    Bagi pemerintah, ada tiga hal yang menjadi perhatian utama dalam revisi UU Pilkada. Pemerintah menginginkan ketiganya tidak diubah. Pertama, soal kewajiban mundur bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD yang ingin mencalonkan diri di pilkada.

    Pemerintah tetap pada posisi, apa yang sudah diputuskan oleh MK itu menjadi acuan pemerintah. Putusan yang dimaksud adalah yang mewajibkan para politisi itu mundur dari dewan bila hendak mencalonkan diri.


    Begitu pula soal syarat dukungan calon, pemerintah tetap ingin aturannya dipertahankan. Untuk parpo, minimal memperoleh 25 persen suara di pemilu sebelumnya atau 20 persen kursi di dewan. Sedangkan, calon perseorangan niminal diukung 6,5-10 persen pemilih yang terdaftar di DPT, dibuktikan dengan KTP.


    Kemudian, soal sengketa parpo, tidak ada kompromi politis. Parpol yang hendak mengajukan calon kepala daerah harus memiliki pengesahan dari Menkum HAM. Bagaimana bila digugat lagi di MK? Menurut mantan Sekjen PDIP itu tidak masalah. "Nanti dalam proses tahapan pilkada, yang digunakan adalah siapa yang secara resmi terdaftar di Kemenkum HAM," tambahnya.


    Terpisah, Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum bisa menilai secara umum terkait bagaimana kualitas dari UU Pilkada yang disahkan DPR kemarin. Pasalnya, hingga tadi malam, pihaknya belum mendapat draf resmi dari pemerintah. "Bahkan selama proses pembahasan, kami jarang diberikan draf sementaranya," ujar Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay.


    Namun dari beberapa pasal yang dia amati sekilas, dia menyayangkan adanya pasal yang mengekang kemandirian KPU. Di mana dalam pasal 9, KPU dipaksa mengakomodir semua rekomendasi DPR dalam hal penyusunan Peraturan KPU dan pedoman teknis tahapan pemilu.


    KPU sebagai penyelenggara semestinya diberi keleluasaan yang luas dalam mengambil kebijakan yang sesuai dengan UU. "Tapi dengan adanya pengaturan seperti ini, bisa saja apa yang sudah diusulkan (DPR) itu tidak tepat. Tapi kami terikat mengadopsinya," keluhnya. Padahal, konstitusi meminta KPU menjadi lembaga mandiri.


    Selain itu, dia khawatir jika dalam prosesnya, hal itu bisa menghambat proses tahapan yang dijalankan KPU. Mengingat DPR merupakan lembaga politik yang kerap kali tidak stabil. Sehingga membuat peraturan teknis tidak bisa dituangkan secara cepat. "Kami ini harus mengurus satu pelaksanaan teknis yang tidak boleh untuk mencerminkan kekuatan politik tertentu," imbuhnya.
     (dyn/bay/byu/far)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top