• Berita Terkini

    Sabtu, 16 April 2016

    Lunturnya Nilai Ketimuran Bangsa Indonesia Oleh Produk Kapitalisme Budaya Massa

    Alfi Arifian
    Masih ingatkah anda film berjudul “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”?sebuah film yang diadaptasi dari novel dengan judul sama karya sastrawan Minangkabau, Buya Hamka. Meski ada banyak celah perbedaan di film dan novel seperti ekranisasi pada umumnya, film berdurasi kurang lebih tiga jam ini menyuguhkan hal-hal yang jarang ditampilkan sineas Indonesia yang mewakili esensi novel Hamka tentang adat, agama, dan cinta.Tiga hal tersebuttelah mewakili nilai universalitas yang dimiliki orang-orang timur, khususnya Indonesia.Karena di dalam film tersebut tersimpan pesan dalam bahasa puitik khas Minang.

    Indonesia memang bukan Cina yang kini menjadi poros ‘Eastern Civilization’ (Peradaban Timur) dengan sejarah panjang sebagai salah satu kebudayaan tertua di dunia maupun Jepang yang menjadi satu-satunya bangsa Asia sebagai kontestan gladiator di PD II.Keduanya merepresentasikan wajah ‘timur’ secara berbeda.Cina yang Budha dengan nilai luhur Kongfusian, serta Jepang dengan tradisi Sinto yang percaya bahwa kaisar mereka keturunan Dewa Matahari.Namun konsepsi universalitas secara umum dalam nilai ketimuran tidak pernah berbeda.Perbedaannya malah melahirkan konsep unik bagi wajah ketimuran Indonesia yang didominasi ideologi yang dibawa kaum pedagang dari Persia dan Gujarat (Islam).

    Islam Tak Hilangkan Nilai-nilai Lokal

    Islam yang dikenal sebagai agama padang pasir telah tumbuh subur di negeri agraris, mengubah nilai-nilai lokal melalui akulturasi budaya tanpa menghilangkannya. Justru nilai ketimuran yang dibalut agama Islam di negeri gemah ripah loh jinawiini semakin menunjukkan wajah ketimuran Indonesia yang santun, seperti terlihat di film ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’. Gambaran kisah cinta dua sejoli yang diperankan apik oleh Herjunot Ali dan Pevita Pearce menunjukkan wajah ketimuran sesungguhnya di masa lampau (novel Hamka ditulis sekitar tahun 1930an dan menjadi kritik adat masa itu).Kisah cinta Zainuddin dan Zainab tidak diumbar lewat syahwat kontak fisik seperti pelukan, pegangan tangan, atau bahkan ciuman. Romantisme suara hati mereka diwakili oleh surat. Kalau kata Andrea Hirata, “Sungguh Melayu.”
    Mungkin tidak semua orang tahu istilah budaya massa atau budaya populer (pop culture), namun kenyataan bahwa nilai timur yang menjadi jati diri kita mulai memudar terlihat sekarang ini. Budaya massa adalah budaya populer yang diproduksi untuk pasar massal. Menurut catatan, benturan tradisi dan budaya pop di Indonesia menggeliat pada dekade ‘80an yang ditandai dengan perubahan situasi sosial ekonomi Indonesia yang mengarah pada liberalisasiekonomi, membuka kantong budaya urban yang mengarah pada budaya pop. Dengan kata lain masyarakat kita dipaksa untuk mengikuti aturan yang dibuat para kapitalis dengan standar ‘pasar’. Di sinilah awal mula kehancuran budaya yang tidak kita sadari.
    Jika kita menoleh ke belakang, tumbangnya Orde Baru merupakan gerbang revolusi kebudayaan.Banyak nilai luhur yang diajarkan di zaman Orba mulai ditinggalkan.Arus investasi asing seakan meluber membawa produk mereka di bidang ekonomi, teknologi, sosial, politik maupun budaya.Alih-alih menyerukan Sila ke-5 bak revolusioner sejati, agen intelektual kapitalis menjajakan isu demokrasi, pluralisme, serta hak asasi yang dahulu terhegemoni rezim represif Orba.Puncaknya adalah kebebasan pers, kebebasan berpendapat, serta kebebasan berkreasi.Arus bebas ini seolah menjadi pakem ‘demokrasi’ yang malah kebablasan. Kesalahannya ‘Reformasi’ (revolusi sistem politik) ini turutmereformasi budaya pada masyarakat yang estetik-relijius menjadi ‘budaya pasar’, sebuah perubahan yang mendikte masyarakat kita menjadi komoditas perdagangan yang ditentukan pasar. Nilai yang dijajakan media pun bukan ‘apa yang masyarakat butuhkan’, tapi ‘apa yang pasar minta’.

    Lunturnya Nilai Luhur Ketimuran

    Struktur masyarakat Indonesia yang ketimuran merupakan kemajemukan komunal dan membentuk budaya massa. Di Jawa ada istilah “urip kuwi wang sinawang”. Hal ini bisa diinterpretasikan sebagai “pengalaman orang lain bisa dijadikan pembelajaran”, atau malah “kalau dia aja bisa/punya kenapa saya enggak”. Relasi psikologis dalam masyarakat massa telah mengatomisasi masyarakat secara sosial maupun secara moral. Budaya massa yang membentuk jiwa konsumtif menuntut masyarakat untuk mengejar gaya hidup demi memenuhi strata sosial yang ‘sejajar’. Lebih dari itu, jika tidak ada kerangka aturan moral yang memadai, maka masyarakatakan berpaling pada moralitas pengganti.Di sini budaya massa memainkan peranan dalam artian budaya massa itu dipandang sebagai salah satu sumber utama suatu moralitas pengganti. Masyarakat secara individu maupun komun rentan terhadap manipulasi dan eksploitasi media massa dan budaya populer. Mudahnya, kita lebih percaya apa kata tivi daripada petuah ulama dan kyai serta nasehat orang tua.
    Nilai luhur ketimuran kita mulai luntur lantaran adanya pergeseran nilai estetik-relijius.Hal ini terjadi karena kita memberikan ruang kebebasan pada budaya massa yang menjajakan dongeng bagi masyarakat konsumer. Gawatnya masyarakat konsumer yang menjadi komoditas perdagangan adalah generasi muda kita.Kali ini bangsa kita bukan hanya lengah, tapi di ambang kehancuran.Pola pikir masyarakat kita sedang dimainkan secara bawah sadar bahwa agama tidak membawa perubahan signifikan dalam hidup.Persis seperti dogma kaum kapitalis yang terus diserang Vatikan.
    Kalau kita melihat film ‘Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck’, pasti terasa kontras dengan sinetron kita yang menjamur di waktu prime-time dengan menjajakan kisah picisan tentang gaya hidup, kelas sosial, rebutan warisan, cerita cinta anak di bawah umur, pergaulan dalam sekat geng, hedonisme akut, konflik rumah tangga, anak yang berani pada orang tua, kisah cinta berumbar nafsu dan lain sebagainya. Seperti budaya Valentine’s Day yang dipuja sebagai Hari Cinta, merupakan produk kapitalisme budaya massa yang telah menjajah nilai ketimuran. Cinta bukan lagi romantika surat bertajuk puisinya Zainuddin untuk Hayati, tapicoklat yang sekarang dibonusi ‘alat kontrasepsi’. Ini merupakan penjajahan moral yang sangat berbahaya.

    Media Massa sebagai Guru Baru

    Media massa adalah alat kapitalis, produk budaya pop, yang kini dianggap sebagai ‘guru baru’, ‘sumber inspirasi’, ‘agama digital’ dan sebagainya. Bahkan estetika reliji yang klasik dan lebih pure, rusak oleh citra media. Agama kini bisa diakses secara bebas melalui media digital sehingga tidak ada jalur kemurnian pemindahan ilmu dari guru kepada murid. Kebebasan akses ilmu agama ini menciptakan miskonsepsi dan misinterpretasi terhadap ayat maupun hadits.Di sini terjadi lagi invasi dalam hal agama.Walhasil, kini lahir sekte-sekte yang beragam dari hasil interpretasi kitab suci yang beragam pula.
    Menilik peran media massa yang gencar menjajakan budaya massa juga merupakan alat politik pemerintah baik pada fungsinya sebagai alat propaganda, media pencitraan maupun menyebarluaskan ide-ide pemerintah, maka yang bisa menekan arus bebas media yang kebablasan ini hanya pemerintah. Apalagi fenomena budaya massa di atas bisa menghancurkan kita secara perlahan. Kehancuran terbesar suatu bangsa bukanlah genosida, melainkan kehancuran budaya lantaran kehilangan jati diri bangsa.Cina dan Jepang tetap kokoh mempertahankan nilai-nilai budaya mereka meski arus globalisasi tak terbendung.Bahkan Cina sebagai poros ‘Peradaban Timur’ mampu mengimbangi dominasi ‘Peradaban Barat’.Bangsa Indonesia merupakan bangsa dengan ragam budaya dan disatukan oleh keragaman itu di bawah panji Merah Putih serta ideologi Pancasila.Saat ini baru ormas-ormas legal (bukan tandingan) yang mampu memberikan pelajaran moral bagi masyarakat terkait isu dekadensi, entah itu lewat pengajian klasikal atau konsolidasi rutin.Diharapkan seluruh elemen bangsa ikut bahu membahu menangkal arus negatif globalisasi yang berdampak pada lunturnya nilai luhur ketimuran kita, nilai moral, serta adat dan agama.Masyarakat masih menanti janji kampanye pemerintah tentang implementasi ‘Revolusi Mental’, bukan hanya dongeng pencitraan semata. (*)

    *Oleh: Alfi Arifian
    Penulis adalah mahasiswa Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Teknologi Yogyakarta (FIB UTY).





    Berita Terbaru :


    Scroll to Top