• Berita Terkini

    Sabtu, 26 Maret 2016

    Pasal BTQ di Raperda Pendidikan Dikritik

    IMAM/EKSPRES
    KEBUMEN (kebumenekspres.com)– Pasal baca tulis Alquran (BTQ) dalam Raperda Pendidikan yang saat ini masih digodok oleh Pansus DPRD Kabupaten Kebumen mendapat kritikan dari Rektor IAINU Kebumen Dr Imam Satibi SAg MAg.

    Menurutnya, landasan untuk memasukkan BTQ dalam Pasal tersebut kurang kuat. Pasal BTQ yang tiba-tiba muncul dalam Raperda itu juga kurang relevan karena tidak didukung oleh standar proses pembelajarannya. "Pasal tersebut bisa mengundang keresahan karena sangat diskriminatif dan hanya mengatur peserta didik dari agama Islam," terang Imam Satibi saat dengar pendapat pembahasan Raperda Pendidikan tentang perubahan Perda Nomor 22 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan di lantai dua Gedung DPRD Kabupaten Kebumen, Kamis (24/3/2016).

    Dengar pendapat itu dipimpin Ketua Pansus I DPRD Kabupaten Kebumen Sarwono didampingi Sekretaris Dian Lestari Subekti Pertiwi. Hadir anggota Pansus Nur Hidayati, Hermi Ning Susanti, Sri Susilowati, Kurniawan, Restu Gunawan dan Musito.  Peserta audiensi dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) kabupaten, UPTD Dikpora kecamatan, Dewan Pendidikan dan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS).

    Dikatakan Imam Satibi, pada periode anggota DPRD sebelumnya, saat bupati dijabat Buyar Winarso, sempat ada keinginan agar BTQ diperdakan. Namun kemudian ditolak. Kini BTQ dimasukkan dalam Pasal Raperda Pendidikan, yang di dalamnya mengatur lulusan SD dan SMP agar dapat membaca dan menulis Alquran dengan fasih dan benar.
    Imam Satibi yang juga Ketua LP Maarif Kebumen memaklumi semangat masyarakat untuk memasukkan Pasal BTQ itu sebagai kompetensi yang harus dimiliki peserta didik. Kendati demikian tidak boleh diformalkan dalam satuan pendidikan.

    Ia pun menekankan agar Raperda tersebut mendasari pada PP Nomor 22 tahun 2007, yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Perda tentang pendidikan keagaaman. Jadi, bukan hanya mengatur peserta didik yang beragama Islam saja tetapi semua agama dan tidak harus di pendidikan formal. Di samping itu, Raperda juga tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi serta tidak boleh sektarian dan diskriminatif. "Sekarang tinggal mendorong pendidikan non formal atau informal yang sudah ada seperti TPQ, Madin dan pesantren," tambahnya.

    Selama ini, lanjut Imam Satibi, pendidikan non formal menjadi kearifan lokal yang sudah melembaga serta menjadi tumpuan di masyarakat. Sehingga, ketika dikaitkan dengan pendidikan formal, maka dikhawatirkan TPQ, Madin, dan pesantren tidak berkembang. Untuk itu diperlukan dukungan dari pemerintah daerah terhadap pendidikan keagamaan tersebut melalui anggaran.

    "Jika BTQ diformalkan, sebaiknya dimasukkan pada ekstrakurikuler. Dalam hal ini sifatnya hanya pengembangan saja. Solusi lainnya dijadikan sebagai syarat dalam penerimaan peserta didik baru dengan menunjukkan sertifikat atau ijazah yang dikeluarkan oleh TPQ, Madin atau pesantren," kata Imam.
    Dengan demikian, Perda yang memayungi  pendidikan formal maupun nonformal terkait keagamaan itu bisa bersinergi. (mam)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top