• Berita Terkini

    Jumat, 01 April 2016

    Kebumen Darurat : Sluman, Slumun, Slomot

    KEBUMEN dalam keadaan darurat !
    Kondisi Kabupaten Kebumen yang tenang ternyata menyimpan keprihatinan yang sangat mendalam. Tragedi kemanusiaan yang mengenaskan tiba-tiba mencuat bergiliran ke permukaan dan seharusnya menjadi perhatian serius kita bersama. Ada dua hal  yang perlu di jadikan fokus perhatian. Kasus bunuh diri dan kasus anak gizi buruk. Bagi saya ini adalah ekses nyata kemiskinan dan masalah sosial yang memporak-porandakan benteng pertahanan jiwa dan akal sehat warga. Dan tentu saja kewajiban pemkab Kebumen yang gagal melindungi dan melayani hak hidup warganya.

    Berikut ini adalah kasus bunuh diri yang tiba-tiba bermunculan. Mereka ternyata lebih suka mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Cara yang sangat murah dan praktis :

    1.Tanggal 24 Maret 2016, Alfin Mubarok (16thn), warga RT 01 RW 03 Desa Tegal Retno, Kecamatan Petanahan tewas gantung diri di dapur rumahnya.
    2.Tanggal  .. Februari 2016, Salimun (43thn), warga RT 1 RW 5 Desa Tambak Agung, Kecamatan Klirong ditemukan tewas tergantung di pohon melinjo di belakang rumah tetangganya.
    3.Tanggal 23 Januari 2016, Sunarto (63thn), pensiunan pegawai Kejaksaan, warga jalan Tanimbar No 36B RT 5 RW 3 Kelurahan Bumirejo, Kecamatan Kebumen ditemukan gantung diri di rumah kosnya.
    4.Tanggal 27 Agustus 2015, Margono (50thn), warga RT 6 RW 2 Desa Kalijirek, Kecamatan Kebumen juga ditemukan tewas gantung diri.
    5.Tanggal 10 April 2015, Akhmad Yakin (70thn), warga Desa Trisnorejo RT 01 RW 03, Kecamatan Petanahan ditemukan tewas gantung diri di teras rumahnya.
    6.Tanggal 20 Maret 2015, Nur Habib (25thn), warga Dukuh RT 2 RW 6 Desa Kedawung, Kecamatan Pejagoan, tewas gantung diri menggunakan tambang plastik di dapur rumahnya.
    7.Tanggal 10 Januari 2015,  Slamet Sugiono, warga Desa Logede, Kecamatan Pejagoan mengakhiri hidupnya dengan gantung diri.
    8.Tanggal 10 Januari 2015, Tuban bin Kartaeja (41thn), warga Desa Sukomulyo, Kecamatan Rowokele juga mengakhiri hidup di dunia yang indah ini dengan cara gantung diri.
                                                                                     ( Data dari Harian Kebumen Ekspres)

    Lima orang gantung diri di tahun 2015 dan tiga orang  gantung diri di tiga bulan pertama tahun 2016. Ini alarm serius bagi Bupati Ir. H. Mohammad Yahya Fuad yang baru menjabat empat puluh hari di Kabupaten Kebumen.  Apa yang sedang terjadi dengan warganya ? Apakah mereka begitu terasing dengan lingkungannya sehingga mereka begitu putus asa dan akhirnya memutuskan bunuh diri ? Apakah masyarakat sekitar dan aparatur sipil pemerintahan lokal tidak cepat tanggap pada permasalahan warganya ?  Saya masih ingat tahun 2015 lalu ada sensus keluarga. Rumah kami pun di datangi petugas dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana yang masih tetangga satu RT. Kertas berisi daftar isian pertanyaan pun di cetak dengan bagus dan lebar. Di mana pertanggungan jawaban atas data sensus yang di peroleh itu ?

    Bahkan jika kita melihat perkembangan UMKM, Kabupaten Kebumen menyatakan sebagai kabupaten terbesar yang mengeluarkan ijin usaha mikro kecil di Indonesia. Yang harus di kaji adalah keberadaan dan kelangsungan usahanya. Bisa saja ijinnnya sehari jadi namun usahanya belum ada. Ijin dan usahanya ada namun langsung rontok bahkan di seratus harinya.

    Namun apa yang di sampaikan Menteri  Koperasi dan UKM Anak Agung Gede Ngurah pada kunjungan kerjanya di Kebumen pada Kamis 23 Maret 2016 lalu bahwa seharusnya dengan banyaknya UMKM dapat menurunkan angka kemiskinan warganya sangat tepat sekali. Tentu saja dengan UMKM yang tetap survive dan berkembang, akses perbankan yang mudah dan rumah tangga miskin sebagai target.

                    Kasus bunuh diri dan kasus anak dengan gizi buruk mengindikasikan ada yang keliru dalam menerapkan kebijakan. Harus ada revolusi mental untuk memperbaikinya. Tentu saja di mulai dengan anggaran pembangunan yang lebih pro rakyat. Pemkab dan jajarannya harus bisa “ngrumangsani” kondisi sosial ekonomi masyarakat Kebumen. Kepedulian sosial dan etika sosial juga harus di kedepankan. Ketika pelayanan publik di rumah sakit masih menjadi sorotan tajam justru pemkab Kebumen menganggarkan dana 85 juta untuk pengadaan garasi mobil dinas dan ambulance di RSUD dr. Soedirman. ( Proyek pembangunan RSUD Tipe B seharga 181 milyar tidak punya garasi ? Perancang dan konsultannya perlu di kaji.) Apalagi di tambah pengadaan pakaian dinas kerja dan perlengkapannya senilai 102,78 juta (Sumber : Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (www.sirup.lkpp.go.id/sirup) ). Saya masih ingat retorika yang di sampaikan bupati, wakil bupati dan jajarannya di acara SSK, Ratih TV Kebumen, ketika saya kritik pemkab kebumen gencar-gencarnya membangun gedung-gedung baru, yakni meningkatkan mutu pelayanan.

     Jika pelayanan jadi moto kerja apalagi di tambah nurani yang bicara, pasien anak gizi buruk seperti Vanda Setia Ningrum (2thn) jika RSUD tak bisa menangani seharusnya di antar pulang ke rumah dengan mobil dinas direktur rumah sakit. Sebagai bentuk empati atas penderitaan Vanda, Direktur RSUD sendirilah yang jadi sopirnya. Yang terjadi justru berlindung di balik SOP (Standar Operasional Prosedur) dengan retorika-retorika medis dan birokrasi. Terutama pernyataan Kepala Dinas Kesehatan Kebumen dr. Rini Kristiani, “ Kalau tidak gawat darurat maka tidak bisa menggunakan layanan ambulan gratis “.  Angka kemiskinan Kabupaten Kebumen yang tinggi seharusnya di anggap situasi kedaruratan. Apalagi melihat kondisi yang sangat memprihatinkan dari Vanda dan keluarga yang merawatnya. Mendapati kenyataan seperti ini masyarakat patut mempertanyakan proses seleksi PNS Kabupaten Kebumen dan pelatihan-pelatihan yang di adakan Badan Kepegawaian Daerah. Kenapa SDM yang tidak memiliki empati dan inovasi pelayanan lolos jadi PNS ? Ini tidak sesuai dengan visi dan misi bupati yang baru. Kualitas sumber daya seperti itu masih di bawah standar. Mereka tidak mampu bekerja. Pemkab tak perlu mempertahankan SDM seperti ini.  Lebih baik di berhentikan agar tak membebani dan menghancurkan kinerja.

    Kasus anak dengan gizi buruk yang menimpa Vanda (2thn) adalah contoh paling pas untuk menguji kualitas pelayanan publik :
    1.Saat Vanda dalam kandungan : tidak terdeteksi/tidak peduli/tidak responsif. Tidak ada kepedulian pada kesehatan ibu hamil. Keikutsertaan dalam program keluarga harapan memberi harapan pada janin yang di kandung. Bisa jadi ibunya akan tinggal sementara selama kehamilannya.
    2.Ketika Vanda di lahirkan dan Ibunya “menitipkan” perawatannya ke orang tuanya : tidak terdeteksi/tidak peduli/tidak responsif. Tidak ada analisa masalah. Mereka adalah keluarga tidak mampu dan manula. Tiba-tiba harus merawat seorang bayi.
    3.Vanda selama 2 (dua tahun) di asuh kakek dan neneknya : tidak terdeteksi/tidak peduli/tidak responsif. Ada pembiaran sehingga asupan gizi Vanda tidak terjamin. Apakah selama rentang dua tahun tidak adakah deteksi dini kemungkinan terjadinya gizi buruk pada Vanda ? Bukankah BKIA dan posyandu bisa memberi asupan gizi gratis ?
    4.Perawatan Vanda di RSUD dr Soedirman, tidak memiliki KIS, BPJS atau Jamkesda. Pelayanan birokrasi yang tidak berjalan. Tidak memiliki solusi sehingga membuat perhatian masyarakat. Fasilitas kesehatan yang tidak memadai untuk menangani Vanda.
                     Setelah pemkab Kebumen berhasil meningkatkan kinerja mutu dan pelayanan , pantaskah proyek pengadaan study banding ke TVRI dan RRI Jakarta senilai 74,6 juta rupiah di kala angka kemiskinan di Kebumen masih di seputar angka 20% ? ( Sumber : Sistem Informasi Rencana Umum  Pengadaan   (www.sirup.lkpp.go.id/sirup) ).
    Bedol desa napa bedol kantor niki ?

    Oleh: Nuryadi Wulantoro
    Penulis adalah pengamat sosial, tinggal di Kebumen
                                                                             

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top