• Berita Terkini

    Senin, 29 Februari 2016

    200 LGBT di Solo Kena HIV dan AIDS

    SOLO – Di luar maraknya penolakan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), ada persoalan serius yang segera dicarikan solusinya. Yaitu sekitar 200 orang LGBT mengidap HIV dan AIDS.  Mereka juga masih aktif menjadi pekerja seks komersial.

    Aktivis rumah singgah Lentera Puger Mulyanto menerangkan, ada sebanyak 300 LGBT di Solo dan sekitarnya yang intens berkunjung ke rumah singgah Lentera untuk memberikan bantuan operasional dan perhatian kepada anak-anak dengan HIV dan AIDS. ”Selama ini, kalau kami kesulitan, mereka ikut membantu. Jadi kami sering berinteraksi,” ungkapnya kemarin (28/2).

    Dari sekitar 300 LGBT itu, imbuh Puger, 70 persennya atau sekitar 200 orang diketahui mengidap HIV dan AIDS. Mereka mencari nafkah dengan menjadi pekerja seks komersial (PSK). Sebagian sudah berhenti karena keadaanya tidak memungkinkan untuk bekerja.

    Adakah LGBT yang berniat sembuh? Puger menyebut sekitar 2 persen atau sekitar 6 orang dari 300 LGBT ingin sembuh. Faktor pendorongnya datang dari keluarga atau setelah mengalami sakit. Ada pula karena panggilan hati.  ”Itu (LGBT ingin sembuh, Red) tidak bisa karena bujukan orang lain. Kalau mereka ingin sembuh ya sembuh, tapi kalau tidak, ya sangat susah,” tutur Puger.


    Lebih lanjut diterangkan Puger, LGBT yang intens datang ke rumah singgah Lentera, mereka membantu mengasuh anak dengan HIV dan AIDS. Ketika ada anak yang rawat inap di rumah sakit, mereka juga ikut menunggu.


    Sementara itu, psikolog Embun Pagi Consultant Prasetyo memaparkan, lingkungan menjadi faktor terbesar yang memengaruhi muncul dan sembuhnya penyakit kelainan ketertarikan seksual tersebut.  Dari lingkungan terkecil, keluarga, seorang anak dapat memiliki ketertarikan seksual sesama jenis karena melihat orang tuanya melakukan tindakan yang tidak patut.

    “Misalnya anak lelaki kerap melihat ibunya keluar rumah tanpa mengurus keluarga dan tidak bertanggungjawab. Kemudian dia benci dengan perempuan,” urai Prasetyo.
    Bisa juga dipengaruhi lingkungan pergaulan. Di mana setiap hari seseorang berkumpul dan merasa nyaman di komunitas tersebut. Awalnya, lanjut Prasetyo, seseorang datang ke komunitas sebagai pria normal.

    Tapi seiring berjalannya waktu, dia merasa nyaman dengan lingkungan para pria tersebut dan ujung-ujungnya mereka menjalin hubungan sesama jenis karena sudah merasa nyaman.

    Ditekankan Prasetyo, pada dasarnya, LGBT bukan semata-mata berurusan dengan fisik. LGBT adalah mengenai mental atau pola pikir. Artinya, otak sebagai pusat respons mengolah apa yang dirasakan oleh fisik bahwa rasa nyaman dengan pasangan sejenis adalah hal yang wajar.

    Kemudian hal itu menjadi pembenaran sikap seakan-akan perilaku LGBT bersifat kodrati. “Faktanya mereka terbawa oleh pola pikir akibat lingkungannya,” jelas dia.
    Apakah LGBT bisa disembuhkan? Secara psikologi Prasetyo mengatakan dapat sembut. Karena LGBT merupakan penyakit mental, bukan kecacatan. Cara penyembuhan dapat dilakukan dengan terapi sederhana memasukkan nilai-nilai baru dalam mental pelaku.

    Selama kurang lebih delapan kali terapi, pelaku LGBT diklaim bisa sembuh secara permanen. “Yang penting kan menyentuh mindset-nya dahulu. Syaratnya memang ada kemauan dari pelaku itu sendiri,” tandas Prasetyo.

    Meskipun sudah dinyatakan sembuh, pelaku LGBT dapat kembali terjerumus dalam praktik tersebut jika bertemu kembali dengan ‘pasangannya’ atau lingkungan yang mendukung LGBT. (vit/irw/wa)


    Berita Terbaru :


    Scroll to Top