• Berita Terkini

    Selasa, 29 September 2015

    Gerabah Gebangsari Masih Mencoba Bertahan

    CAHYO/EKSPRES
    KEBUMEN (kebumenekspres.com)-Kendati "diserbu" produk sejenis berbahan plastik, gerabah tanah liat buatan tangan warga Desa Gebangsari Kecamatan Klirong masih bertahan. Setidaknya sampai saat ini, pesanan terus mengalir. Hanya saja, kerajinan ini terancam punah menyusul rendahnya minat generasi muda menekuni kerajinan yang diwariskan dari generasi ke generasi tersebut.

    Kasmirah (40), menjadi salah satu perajin yang memilih bertahan. Ditemui di rumahnya, RT 03 RW 01 Dukuh Krajan Senin (28/9/2015), Kasmirah mengatakan saat ini perajin yang masih bertahan hanya sekitar 10 yang mayoritas perempuan. Padahal, di dasawarsa 1970-1980 hampir semua warga Dukuh Krajan berprofesi sebagai perajin gerabah. "Sekarang paling hanya 10 orang saja yang masih bikin gerabah," kata ibu tiga anak itu.

    Menurutnya, itu terjadi lantaran generasi muda di wilayahnya tak mau menekuni profesi warisan nenek moyang tersebut. Sebagian perajin lain, memilih berhenti lantaran hasilnya tak memadai. Sebagian memilih merantau ke luar kota mencari pekerjaan lain karena hasil dari menekuni kerajinan gerabah tak mencukupi kebutuhan hidup yang semakin tinggi. "Mungkin setelah saya tak ada lagi yang meneruskan kerajinan ini. Anak-anak muda sekarang gak mau belajar karena tidak telaten," kata Kasmirah.

    Dari tiga anak Kasmirah, tak ada satupun yang mau meneruskan pekerjaan ibunya. Mereka memilih belajar di pondok pesantren. Kasmirah sendiri memilih tetap bertahan karena tak ada pekerjaan lain yang bisa dikerjakan. Apalagi, dari hasil membuat gerabah, Kasmirah bisa membantu ekonomi keluarga.

    Kasmirah mengaku masih menyukuri apa yang ia dapat dari pekerjaan sampingan di saat tak mengerjakan sawah itu. Saat ini, katanya, permintaan gerabah masih mengalir. Setidaknya seminggu dua kali, hasil kerajinannya laku terjual. Aneka kerajinan tanah liat terdiri dari kendil, wajan, pot bunga, ciri, keren (tungku) itu laris terjual. Bahkan khusus untuk kendil  banjir pesanan dari rumah sakit di Sruweng dan Gombong. "Kendil berukuran kecil paling laris karena untuk tempat ari-ari bayi yang lahir di rumah sakit," katanya.

    Kasmirah sendiri menjual produknya dengan harga bervariasi tergantung tingkat kesulitan. Untuk barang termurah berupa ciri dijual Rp 2000 perbuah. Sementara, padasan (tempat wudu) dijual Rp 10 ribu. Sekali menjual, Kasmirah mengaku mendapatkan penghasilan sebesar Rp 200 ribu.
    Sementara untuk bahan baku tanah liat, Kasmirah membeli seharga Rp 170 ribu ditambah pasir Rp 160 ribu. "Bahan baku itu bisa diapakai satu tahun. Pembeli biasanya datang mengambil ke rumah atau suami saya berkeliling menjualnya," kata istri Sumedi (45) itu. (cah)

    Berita Terbaru :


    Scroll to Top